A.
Kesalahtafsiran
Terhadap Pembelajaran Bahasa
1. Bahasa
Indonesia tidak perlu dipelajari dan diajarkan di sekolah karena sudah menjadi
bagian kehidupan bangsa (kehidupan sehari-hari).
Tidak setuju dengan pernyataan
tersebut. Terdapat tiga alasan yang diungkapkan oleh Pak Ibnu (guru bahasa
Indonesia SMKN 2 Boyolangu), yaitu:
a) Bahasa
Indonesia merupakan bahasa nasional, salah satu fungsinya adalah identitas
bangsa Indonesia. Seberapa mudahnya bahasa Indonesia untuk berkomunikasi, harus
tetap diajarkan karena salah satu yang menunjukkan kemajuan suatu identitas
bangsa itu jika bahasanya itu diakui, dibanggakan. Contohnya Inggris, mengapa
Inggris bisa maju dan bahasanya dijadikan bahasa Internasional? Karena mereka
bangga dan menguasai bahasa mereka. Banyak dari bangsa kita tidak bangga dengan
bahasa kita, mereka hanya mengetahui bahasa Indonesia versi pasar, itu karena
dominannya dengan entertainment, semua bahasa Indonesia acuannya kebetawian.
Contohnya, “ngapain lu?”. Itu yang
membuat bangsa kita tidak maju-maju. Bayangkan jika bahasa Indonesia bisa
“Go-Internasional”.
b) Tetap
perlu diajarkan tetapi tetap harus mempertimbangkan “bagaimana bahasa Indonesia
itu diajarkan?”. Jadi, bahasa itu kan ada 2, kita itu belajar teori bahasa atau
belajar berbahasa. Dua-duanya sangat berkaitan tetapi selama ini yang saya
tahu, yang saya pernah rasakan banyak lembaga pendidikan yang masih berkutat
pada “Bagaimana teori berbahasa” dan
keterampilannya kurang. Padahal bahasa Indonesia itu seharusnya mengajar itu, “Bagaimana berbahasa?”, karena fungsi
bahasa itu yang penting adalah bagaimana berkomunikasi dengan baik dan benar.
Sebenarnya tidak salah jika teori dulu baru praktik. Namun, sekarang harus
dibalik (harus banyak berkomunikasi
dulu baru dikaji).
c) Porsi
bahasa Indonesia (alokasi waktu) harus dipertimbangkan.
2. Bahasa
Indonesia di sekolah memerlukan biaya yang cukup banyak.
Ya dan tidak tetapi jawaban saya
cenderung tida, karena pembelajaran bahasa itu adalah yang paling murah.
Kuncinya kita mahir berbahasa adalah harus banyak praktik. Media pembelajaran
itu hanya salah satu penunjang supaya pembelajaran beragam, tapi ingat bahwa
pembelajaran itu ada 2, yaitu indoor dan
outdoor. Saya (Pak Ibnu) jika
mengajar itu tidak pernah menyuruh siswa untuk membeli buku, fotokopi
jarang-jarang (hampir tidak pernah), mencatat. Namun, dibutuhkan pembelajar
yang aktif, mau mengikuti panduan dari guru. Kalau menurut saya (Pak Ibnu) itu,
sekolah seharusnya murah.
3. Masalah
bahasa Indonesia hanya menjadi urusan ahli bahasa atau lembaga yang berwenang
di bidangnya.
Ahli bahasa diperlukan untuk
pengembangan bahasa, pengkajian bahasa, mungkin jika ada kata-kata baru, kosa
kata baru, kamus baru, ahli bahasa memang perlu mempelajari bahasa tapi
masyarakat juga perlu mempelajari, kita harus bangga dengan bahasa Indonesia
dengan cara selalu menggunakan bahasa dengan baik dan benar. Bahasa Indonesia
merupakan bahasa yang fleksibel, dapat berubah sesuai dengan konteks (formal
dan nonformal).
4. Menjadi
ahli bahasa bukan bidang profesi yang menjanjikan bagi masa depan. Iya, karena
bahasa Indonesia dianggap hanya sebagai komunikasi atau pengantar maksud,
pikiran dan perasaan saja. Dalam bidang profesi, bahasa dianggap abstrak dan
kurang jelas penanganannya, sehingga banyak masyarakat yang meragukan profesi
ahli bahasa.
B.
Kerancuan
Teoritis dalam Bahasa Indonesia
Ketidakkonsistenan
dalam berbahasa pada sistem ketatabahasaan atau kaidah-kaidah kebahasaan yang
terdapat dalam bahasa Indonesia. Terdapat dua hal yang membuat
ketidakkonsistenan dalam belajar bahasa Indonesia. (1) siswa tidak dapat
memilah dalam berbahasa (belum sesuai kaidah kebahasaan); (2) ketidaktahuan
dalam berbahasa Indonesia yang baik dan benar (menyepelekan).
C.
Interferensi
Bahasa Daerah dan Bahasa Asing
Salah
satu penyebab ketidakkonsistenan berbahasa Indonesia yaitu masyarakat di
Indonesia hampir secara keseluruhan bilingualis. Porsi penggunaan bahasa Jawa
dan bahasa Indonesia secara tidak sadar dapat memengaruhi saat pembelajaran
bahasa Indonesia. Solusinya, (1) guru konsisten dalam memberi tauladan dengan
menggunakan bahasa Indonesia; (2) melibatkan kegiatan yang bisa menggunakan
bahasa Indonesia, seperti mengadakan lomba LKTI, dan lain-lain.
D.
Masalah
Politik Bahasa dan Sikap Berbahasa
Kedudukan bahasa
Indonesia dianggap lebih rendah daripada bahasa daerah, terutama bahasa asing
karena bangsa sendiri Indonesia tidak bangga terhadap bahasanya sendiri. bahasa
Indonesia merupakan budaya, budaya bisa menjadi kuat apabila kita sadar dan
bangga.
E.
Dialektika
Seputar Muatan Kurikulum
Alokasi waktu
yang ada di SMKN 2 Boyolangu sudah dirasa cukup. Perubahan kurikulum yang tidak
konsisten, perubahan-perubahan kurikulum mulai dari materi, teknik itu memang
harus berubah, berkembang sesuai dengan zamannya. Walaupun kurikulum selalu
berubah, belajar itu intinya harus bermanfaat, kita harus menanamkan pada diri
kita, “belajar itu untuk apa?”.
F.
Pendekatan
Pembelajaran dan Sistem Evaluasinya
Jika membicarakan mengenai
pendekatan pembelajaran dan evaluasinya berarti juga akan melihat pada
kurikulum yang sudah di tetapkan oleh pemerintah. Apabila pendekatan
pembelajaran yang sudah ditetapkan sedemikian rupa dalam kurikulum itupun bisa
berubah-ubah dan sistem evaluasinya belum sampai tahap mengetahui masalah dalam
kurikulumnya, akan tetapi sudah ada pergantian kurikulum. Maka guru yang pada
awalnya sudah menerapkan pembelajaran sebelum adanya pergantian, kemudian
dituntut untuk mengganti pendekatan dalam
pembelajaran yang baru maka guru pun akan kesulitan karena sudah
terlanjur fasih dalam menerapkan pendekatan pembelajaran yang sudah pernah
dilakukanya.
G.
Sumber
Bahan dan Media Pembelajaran
(1) Sumber
bahan dan media pembelajaran harus memiliki karakteristik tersendiri. Dalam
sumber bahan dan media pembelajaran harus ditanamkan karakter yang di dalamnya
dapat membangun rasa cinta dan bangga terhadap bahasa Indonesia. Selain itu,
dalam pengambilan sumber bahan dan media pembelajaran harus memenuhi karakteristik
yang sesuai dengan tema/materi yang diajarkan yang di dalamnya ada unsur budaya yang ada di Indonesia.
(2) Banyak
buku terbitan swasta yang memakai label sesuai kurikulum, tapi pada kenyataanya
belum mencerminkan kurikulum tersebut. Penerbit swasta rata-rata hanya mencari
keuntungan melalui penjualan buku tanpa mempertimbangkan kurikulum yang
diterapkan atau yang berlaku, sehingga kurang efektif digunakkan dan buku
sebagai sumber bahan pengajaran masih terbatas (yang sesuai kurikulum yang
berlaku).
H.
Profesionalitas
Guru Bahasa Indonesia yang Masih Diragukan
Ya dan tidak. Tidak sedikit guru yang
visioner tetapi juga tidak sedikit guru-guru yang “alah”. Untuk menuju profesionalitas, kalau yang dimaksud adalah
kualitas guru itu juga harus didukung dengan sistemnya pendidikan itu sendiri.
pembelajaran menjadi menarik itu bukan hanya karena materinya tetapi gurunya
juga harus menarik.
No comments:
Post a Comment