Friday, August 2, 2019

Kritik Sastra - Pendekatan Sosiologi Sastra


KRITIK SASTRA PADA CERPEN “SRENGENGE”  KARYA SENO GUMIRA AJIDARMA MELALUI PENDEKATAN SOSIOLOGI SASTRA
 oleh
Krisnina Maharani
Kmaharani367@gmail.com


Abstrak
Pendekatan sosiologi sastra merupakan realitas kehidupan bermasyarakat yang ditulis oleh pengarang. Terdapat banyak karya sastra, baik novel maupun cerpen yang menyuguhkan cerita yang sama atau mirip dengan kehidupan bermasyarakat secara nyata. Kritik sastra dalam kajian sosiologi sastra ini memberikan informasi pada dunia cerpen atau novel bahwasannya cerita-cerita tersebut merupakan realitas kehidupan bermasyarakat yang ditulis oleh pengarang. Pengarang merupakan anggota masyarakat yang dapat menuliskan karya sastranya sesuai dengan realitas kehidupan yang diketahui atau dijalaninya. Cerpen “Srengenge” karya Seno Gumira Ajidarma ini menarik untuk dikaji menggunakan kajian sosiologi sastra karena cerita ini sangat berkaitan dengan kehidupan bermasyarakat, khususnya di pasar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui realitas kehidupan masyarakat di dalam cerpen.
Kata kunci: Kritik sastra, sosiologi sastra, cerpen Srengenge


A.      Pendahuluan
Karya sastra adalah kegiatan kreatif sebuah karya seni yang bentuk dan ekspresinya imajinatif (Wellek & Warren, 1955). Karya sastra berisi pemikiran, ide-ide, dan pesan sehingga pengarang dapat berkomunikasi dengan pembaca. Karya sastra merupakan hasil dari sebuah pemikiran dan ide-ide dari seorang pengarang atau sastrawan yang mengandung nilai-nilai di dalamnya. Salah satu cara untuk menikmati karya sastra dapat dilakukan dengan mengkaji atau mengkritik karya sastra tersebut.
Kritik sastra merupakan salah satu cabang dari ilmu sastra yang menghakimi sebuah karya sastra. Selain menghakimi sebuah karya sastra, kritik sastra juga dapat menafsirkan karya sastra secara lebih luas. Kritik sastra juga dapat didefinisikan sebagai sebuah kegiatan untuk mempertimbangkan baik buruknya sebuah karya sastra. Kegiatan tersebut tentunya harus dilakukan dengan mencantumkan bukti-bukti yang ada. Adanya kritik sastra, mampu mengembangkan sebuah karya sastra dan teori-teori karya sastra., salah satu teori dalam sastra adalah sosiologi sastra.
Sosiologi sastra berasal dari kata sosiologi dan sastra. Sosiologi berasal dari bahasa Yunani yaitu sos yang berarti bersatu, kawan, teman, dan logis atau logos yang berarti sabda, perkataan, perumpamaan. Sosiologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari masyarakat dalam keseluruhannya, terutama yang berhubungan dengan aspek-aspek masyarakat yang menyangkut interaksi antarmanusia. Sosiologi sastra menyajikan gambaran kehidupan yang sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial atau realitas kehidupan masyarakat yang ditulis oleh pengarang. (Wijaya, 2011)
Cerpen “Srengenge” merupakan salah satu karya sastra dari Seno Gumira Ajidarma yang dimuat dalam kompas harian atau cerpen kompas. Cerpen ini memiliki bentuk penerapan dari sebuah pendekatan sosiologi sastra. Cerpen ini memiliki keterkaitan dengan kehidupan sosial di masyarakat. Cerpen “Srengenge” ini menceritakan tentang kehidupan bermasyarakat yang ada di pasar dan sebuah fenomena yang dialami oleh warga pasar.
Berdasarkan hal tersebut, cerpen “Srengenge” karya Seno Gumira Ajidarma ini menarik untuk dikaji dalam kritik sastra melalui pendekatan sosiologi sastra. Cerpen ini dirasa tepat dikaji dengan pendekatan sosiologi sastra karena di dalam cerpen ini terdapat kehidupan sosial di masyarakat.

B.       Teori Sosiologi Sastra
Dalam wacana studi sastra, sosiologi sastra sering didefinisikan sebagai salah satu pendekatan dalam kajian sastra yang memahami dan menilai karya sastra dengan mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan. Dalam sosiologi sastra yang dipelajari meliputi (1) konteks sosial pengarang dan masyarakat yang dituju, (2) sastra sebagai cerminan masyarakat, contohnya dalam fakta-fakta sosial dalam masyarakat seperti kawin paksa pada novel Siti Nurbaya.
Konsep tentang sosiologi sastra, yaitu karya sastra tidak dapat dipahami seutuhnya tanpa dihubungkan dengan kebudayaan dan peradaban yang menghasilkannya. Oleh karena itu, pemahaman terhadap karya sastra pun harus selalu menempatkannya dalam bingkai yang tak terpisahkan dengan berbagai variabel, seperti pengarang sebagai anggota masyarakat, kondisi sosial budaya, politik, ekonomi yang ikut berperan dalam melahirkan karya sastra, pembaca yang akan membaca menikmati dan memanfaatkan karya sastra tersebut. (Damono, 1978)
Sosiologi sastra merupakan ilmu yang memanfaatkan faktor sosial sebagai pembangun sastra. Faktor sosial diutamakan untuk mencermati karya sastra. Pengarang sebagai pencipta karya sastra adalah anggota masyarakat. Dalam menciptakan karya sastra, tentu juga tidak terlepas dari masyarakat tempatnya tinggal, sehingga hal yang digambarkan dalam karya sastra sering kali merupakan representasi dari realitas yang terjadi dalam masyarakat. Demikian juga pembaca sebagai penikmat karya sastra. Pembaca juga merupakan anggota masyarakat yang ikut berpengaruh dalam memilih bacaan maupun memaknai karya sastra yang dibacanya.
Sosiologi sastra menyajikan gambaran kehidupan yang sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial atau realitas kehidupan masyarakat yang ditulis oleh pengarang. Dalam pendekatan sosiologi sastra, sesuatu yang dianggap menyimpang akan menjadi bahan menarik bagi sastrawan. Suatu sastra yang mengandung unsur kritik adalah bentuk komunikasi dalam masyarakat yang bertujuan sebagai kontrol terhadap sistem sosial. (Abar dan Zaini, 1999)

C.      Kritik Sastra Pada Cerpen “Srengenge” Karya Seno Gumira Ajidarma Melalui Pendekatan Sosiologi Sastra
Cerpen “Srengenge” karya Seno Gumira Ajidarma menceritakan tentang kehidupan bermasyarakat di pasar. Berikut adalah kritik sastra pada cerpen “Srengenge” karya Seno Gumira Ajidarma melalui pendekatan sosiologi sastra.

“Langit masih gelap. Namun, seperti biasa, pasar itu mulai hidup. Cahaya lentera, obor, maupun petromaks, menerangi kegiatan pasar di perempatan jalan itu, bercampur cahaya lampu neon dari tiang listrik dan toko-toko Tionghoa yang masih tutup. Tanah yang becek dan genangan air sisa hujan kemarin malam memantulkan cahaya.”


Pada kutipan cerpen di atas, menggambarkan keadaan pasar di pagi hari yang masih gelap tetapi pasar mulai hidup. Keadaan pasar pada cerpen “Srengenge” ini sama seperti pasar-pasar tradisional pada umumnya, remang-remang terkena cahaya lampu dan obor.

“Suatu ketika seorang pemuda melaju dengan sepeda motornya dari balik malam dan genangan air hujan itu menyiprati wajah tukang sayur yang seketika memaki-maki dengan dahsyat, mendoakan agar nenek moyang maupun keturunan penunggang sepeda motor tadi disiksa habis-habisan di neraka.”

Pada kutipan cerpen di atas, menggambarkan keadaan jalan yang banyak genangan air hujan dan tiba-tiba ada pemuda yang melaju dengan sepeda motornya seketika mengenai penjual sayur dan penjual sayur itu langsung memaki-makinya. Dalam kehidupan bermasyarakat tentu saja ada hal baik dan buruk, kutipan di atas menggambarkan kehidupan bermasyarakat yang kurang baik, wajar saja bila penjual sayur itu memaki-maki pemuda yang melaju seenaknya sendiri sehingga wajah penjual sayur tercriprat genangan air. Pengarang tidak menyebutkan si penjual sayur itu laki-laki atau perempuan. Namun, jika dilihat dari kalimat yang ditulis pengarang, penjual sayur itu adalah seorang ibu-ibu. Ibu-ibu identik dengan kecerewetannya, apalagi ibu-ibu sayur di pasar.

“Langit masih gelap. Tiga ekor kambing di seret-seret. Seekor ayam berkokok. Teriakan wanita-wanita pedagang saling bersahutan. dering bel becak dengan bawaan sayur mayur menggunung dan masih ditunggangi si wanita pedagang di atas sayur mayur itu menyela di celah hentakan musik jaipongan dari warung suupermi.”


Pada kutipan cerpen di atas menggambarkan keadaan dan kegiatan pagi hari di pasar tradisional. Teriakan wanita-wanita pedagang bersahutan menawarkan dagangannya. Keadaan dan kegiatan seperti itu sama persis dengan keadaan dan kegiatan pasar tradisional umumnya pada pagi hari.
“Para pedagang menggelar dagangannya di bawah atap maupun di tepi jalan. Mengggelar harapan dan kemunginan yang tak lagi terlalu pasti hari-hari ini. beberapa orang saling menyapa, beberapa orang mulai bertengkar. Mata seorang pedagang kentang melirik goyang pinggul wanita penjual kayu bakar. Mobil patroli polisi lewat perlahan dengan lampu merahnya yang nguik-nguik dan berpijar-pijar menggetarkan.”
Pada kutipan cerpen di atas, menggambarkan kegiatan pagi hari di pasar tradisional. Banyak pedagang yang menggelar dagangan serta harapan agar mendapat keuntungan yang banyak. Sudah menjadi kebiasaan orang yang memiliki jiwa sosial jika bertemu dengan orang lain selalu bertegur sapa. Dalam kehidupan nyata pun juga seperti itu.
“Orang-orang yang tidak jelas kerjanya berkongkok di dekat tukang rokok. Dan tukang rokok itu tanpa diminta segera menawari mereka rokok kretek yang tanpa menunggu lebih lama lagi segera disambar dan diselipkan di telinga mereka masing-masing.”
Pada kutipan di atas, menggambarkan kegiatan pagi hari di pasar tradisional dan kegiatan sosial bermasyarakat. Tukang rokok yang menawarkan rokok kretek pada orang-orang yang tidak jelas kerjaannya. Kemudian, orang-orang tersebut segera mengambil rokok yang ditawarkan tukang rokok itu. Kegiatan tersebut biasa dilakukan orang desa pada umumnya. Istilahnya selalu “tawa-tawa” dalam bahasa Jawa, yang artinya selalu menawarkan pada orang-orang sekelilingnya (tidak pelit).
“Bau segala jenis sayur mayur dan rempah-rempah mulai menusuk hidung. Seorang wanita pedangan tua memaki-maki dan melempari kucing yang berhasil menggondol ikan asin dengan sebungkah besar bawang merah.”
Pada kutipan di atas menggambarkan keadaan pasar tradisional yang selalu tercium aroma sayur-mayur dan rempah-rempah yang menusuk hidung. Banyak pedagang, umumnya wanita yang sering memaki-maki hewan di pasar dengan suara cempreng dan cerewet khususnya kucing yang selalu berhasil menggondol ikan asin miliknya.
“Langit masih gelap. Dari radio transistor di warung itu warta berita mulai mengalir. Sebuah bom mobil meledak di Jerman barat, menewaskan seorang industrialis, tiga gerilyawan Palestian tewas diberondong patroli angkatan laut Israel. Bank sumsum tulang belakang pertama berdiri di New York. Presiden Suriah Hafes Assad menelepon pemimpin Libya Muammar Khadafi, tentang kunjungan PM Israel Shimon Perez ke Maroko. PM Inggris Margaret Thatcher melunakan sikapnya yang menentang sanksi ekonomi kepada Afrika Selatan. Kerajaan Playboy mulai bangkrut. Pemain bola Argentina Diego Maradonna berlibur ke Tahiti. Presiden AS Ronald Reagan memperingatkan baya komunis dari Amerika Tengah. Film Ibunda meraih sembilan Citra. Korban kebocoaran reaktor nuklir Chernobyl terus meningkat. Aktris Liz Taylor menyatakan dirinya masih terbuka untuk cinta. Lantas, warta berita diakhiri dengan pengumuman: Perhatian. Mulai hari ini, matahari tak terbit lagi. Harap maklum.”
Salah satu alat elektronik yang bisa didengarkan di pasar adalah radio. Banyak orang yang berjualan sambil mendengarkan radio, entah itu musik atau berita. Pada kutipan cerita di atas merupakan salah satu pernyataan yang di sampaikan penyiar radio di radio milik salah satu warung di pasar tradisional. Semua warga pasar tak percaya akan pernyataan tersebut, karena penyiar radio sangat santai dalam menyiarkan hal tersebut tanpa memikirkan perasaan orang yang mendengarkannya dan sok tahu.
“Tiba-tiba, seseorang meloncat ke atas truk. Ia mengangkat kedua tangannya. Mengembangkan jari-jarinya. Dan berteriak.
“Wahai saudara-saudaraku! Bertobatlah! Akhir zaman telah tiba! Matahari telah berakhir! Bertobatlah selagi sempat!”
Ia seorang muda yang tampan. Rambutnya ikal dan panjang. Pakaiannya compang-camping. Wajahnya bercahaya. Orang-orang di dekatnya berhenti bekerja. Orang-orang di warung yang sempat mendengar siaran tadi tersengat. Namun wajah mereka masih juga bertanya-tanya.
“Wahai saudara-saudaraku! Aku berseru kepadamu, mintalah pengampunan pada Tuhan sekarang juga! Matahari tak akan lagi terbit! Inilah hari terakhir peradaban manusia! Bertobatlah! Mintalah ampun atas kehidupan kalian yang bergelimang dosa! Supaya kalian terhindar dari siaksa hari kiamat yang mengerikan! Bertobatlah! Sebelum azab Tuhan membuatmua sengsara! Saudara-saudaraku! Bertobatlah! Saudara-saudaraku…”
………………………………………………………………………….
 “O, dasar orang gila! Tapi omongannya kok seperti orang waras tadi ya? Seperti orang khotbah!”
“Ah, sudah, jangan dipikir! Cuma orang gila saja kok!”
“Iya! Orang gila! Masah matahari dibilang nggak terbit!”
Pada kehidupan bermasyarakat, kehidupan sehari-hari di dunia ini pasti ada yang namanya orang gila, apalagi di pasar tradisional. Orang gila selalu dianggap pengganggu dan ditakuti oleh kalangan masyarakat. Namun, dalam kutipan di atas, orang gila itu berbicara seolah-olah dia adalah orang waras dan tidak mungkin orang-orang di sekitarnya percaya dengan perkataannya. Kenyataan dalam kehidupan bermasyarakat pun seperti itu.
“mereka sudah lupa kejadian tadi. Obrolan di warung menghangat sekitar desas-desus si janda juragan ayam. Ada kabar ia mulai lirik-lirikan dengan pedagang tempe. Lantar mereka juga mempersoalkan pasaran swalayan yang akan segera dibangun. Penggusuruan. Kebakaran. Banjir. Kredit. Sawah. Anak. Kemajuan. Kendaraan Jepang. Wanita desa. Pemilu…”
Pada kutipan di atas menggambarkan bahwa di pasar tradisional selalu terjadi rumpi atau merumpi membicarakan segala hal yang ada. Tidak hanya di pasar tradisional saja, di desa, di rumah tetangga, di manapun selalu ada yang namanya kegiatan merumpi, apalagi para ibu-ibu di pasar.
“Tuhan!” seseroang tiba-tiba berteriak. Ia sujud dan menengadahkan kedua tangan, “Ampuni aku, Tuhan!”
Tapi seseorang lain menghardiknya
“Baru gitu aja ngeper! Ini ‘kan cuma omong kosong! Mana mungkin matahari tidak terbit ? kalian percaya si Sukab gila itu? Kalian percaya sama sandiwara radio? Gombal! Ayo kerja seperti biasa! Layani pembeli! Matahri pasti akan terbit! Pasti!”
“Pasti! Pasti! Tapi dari sebelah barat! Sok jago lu! Apa kamu bisa menahan matahari terbit dari barat? Kamu tahu, apa artinya matahari terbit dari sebelah barat?” sergah yang lain lagi.
“O… jadi kalian percaya omongan-omongan tidak masuk akal itu? Kalian ini sudah gila apa? Sudah seperti Sukab?”
“Tapi, coba lihat! Mana matahari?”
……………………………………………………………………...
Kehidupan bermasyarakat selalu terdapat pro dan kontra. Seperti kutipan percakapan cerpen di atas, terdapat banyak pro dan kontra mengenai langit masih gelap dan esok akan terbit matahari dari barat tandanya akan kiamat. Pro dan kontra dalam bermasyarakat itu sudah biasa terjadi.
Seseorang melompat ke  atas truk. Teriakannya keras, mengatasi yang lain.
“Saudara-saudara sekalian! Inilah hari terakhir bagi kita untuk bertobat! Besok matahari terbit di barat, saat datangya hari kiamat! Langit akan runtuh! Gunung-gunung akan meletus! Sungai meluap! Angin ribut! Kita semua kaan tewas! Inilah kesempatan terakhir saudara-saudara! Kesempatan terakhir bertobat dan mengurangi dosa kita yang bergelimang! Setiap hari kita hanya berpikir mencari keuntungan untuk diri sendiri! Tak pernah peduli nasib orang lain! Ayo kita mohon ampunan besama-sama selagi masih sempat!”
Orang-orang memandangnya dengan bingung. Sebagian, meskipun ngeri melihat langit gelap, belum begitu yakin kiamat sudah datang besok.
Oang lain lagi melompat ke atas truk.
“Jangan percya dia! Jangan percaya kata-katanya! Jangan pedulikan dia! Ayo kerja! Jangan buang waktu!”
Tapi ornag-orang juga tidak bergerak.
Kini orang ketiga melompat ke atas truk.
“Tenang! Tenang! Sekarang begini saja saja saudara-saudara. Marilah kita berpikir sedikit lebih tenang. Jangan panik! Orang sabar kekasih Tuhan. Begini lho maksud saya. Semua ini ‘kan belum pasti? Belum pasti matahari terbit di timur ‘kan? Jadi, maksud saya, kita tungggu saja. Kalau ada cahaya di barat besok, kita buru-buru minta ampun. Kalau terbitnya di timur, ya kerja lagi seperti biasa. Bagaimana? Setuju? Ini praktis ‘kan? Sebagai pedagang kita harus memikirkan segenap untung ruginya bukan?”
Wajah orang-orang kini menjadi cerah. Mereka seperti telah mendapat jawaban. Mereka serentak menyahut.
“Setuju! Rugi kalau minta ampun sekarang!”
“Betul sekali! Nanti saja, kalau pasti kita akan mati!”
Orang di atas truk yang ketiga tadi berteriak lagi.
“Saudara-saudara, bagaimana kalau kita lihat kepastiannya di barat?”
Maka, seperti degerakan tenaga gaib, orang-orang itu segera bergerak semua ke barat dengan wajah bertanya-tanya. Mereka berjalan di barat dengan sorot pandangan harap-harap cemas. Pasar segera jadi kosong. Hanya gelandanganitu saja satu-satunya yang tinggal. Tidur melingkar di emper toko. Semuanya berjalan ke arah barat. Pedagang kentang, wortel, kubis, kayu bakar, supermi, maupun pemilik toko kelontong, bergegas melangkah menuju ke barat.
Dalam kehidupan bermasyarakat selalu ada orang yang mempengaruhi, entah itu baik maupun buruk. Orang yang akan dipengaruhi kadang juga akan terpengaruh apabila pernyataan-pernyataan orang yang mempengaruhi itu dirasa benar olehnya. Dalam kehidupan bermasyarakat secara nyata pun seperti itu, banyak orang yang mempengaruhi untuk hal kebaikan, ada pula yang mempengaruhi untuk hal yang tidak baik.
“Setiap orang yang bersua di jalan bergabung. Semua orang menuju ke barat. Langkah mereka menderap di atas tanah yang becek dan genangan air sisa hujan semalam. Mereka telah meninggalkan belantara pencakar langit yang tandus dan gersang, melaju ke luar kota.”
Dalam bermasyarakat, orang selalu ingin tahu apa yang terjadi dan gampang ikut-ikutan dengan orang yang bergerombol. Seperti kutipan cerpen di atas, mereka yang bersua dengan orang-orang pasar yang ingin pergi ke barat untuk melihat matahari pun juga ikut bergabung, meskipun tanah becek dan genangan air hujan harus mereka lewati. Karena orang-orang yang penasaran akan selalu berusaha untuk mencari tahu kebenarannya dengan cara mereka sendiri.
Tiba-tiba saja, entah dari mana, muncul Sukab. Ia berdiri di tepi pantai, menghadap ke arah orang-orang. Wajahnya masih tampan dan bercahaya. Rambutnya panjang dan ikal. Ia memakai pakiaan combapng-camping. Dan seperti tadi, ia mulai lagi bekhotbah.
“Saudara-saudaraku! Bertobatlah! Matahari…”
Mereka yang mengenalinya terperanjat.
“Lho, itu Sukab?”
“Iya, si Sukab!”
“Sukab? Sukab siapa?”
“Itu lho, orang gila yang suka ketawa-ketawa sendiri di gardu listrik.”
“O, orang gila yang suka nyanyi Walangkekek itu?”
Orang-orang banyak itu sudah siap memaki-maki. Namun seperti diingatkan oleh sesuatu, hampir bersaaman mereka mendongak ke langit. Langit masih saja gelap gulita.
Banyak orang yang menyebut orang gila itu orang yang tidak waras, orang yang sakit kejiwaannya. Pada kutipan di atas, lagi-lagi orang gila itu memberi pengaruh kepada semua orang yang sedang berkumpul di ufuk barat. Namanya aja orang gila, siapa yang akan mempercayai setiap perkataannya? Bukan dipercaya, malah dimaki-makilah dia. Sifat manusia dalam bermasyarakat ini sudah mendarah daging sampai saat ini. Orang gila ya orang gila, tak perlu diacuhkan perkataannya. Karena pada dasarnya orang gila itu tidak mempunyai pikiran.
Secara keseluruhan, cerpen “Srengenge” ini memiliki banyak kesamaan dalam kehidupan bermasyarakat secara nyata, khususnya di pasar. Pengarang sebagai anggota masyarakat sangat mengetahui kehidupan bermasyarakat di pasar. Hal ini dibuktikan pada tiap kalimat yang dituliskannya dalam cerpen yang berjudul “Srengenge” ini, pengarang menuliskannya dengan sangat detail. Terlihat dari judulnya saja sudah menarik dan membuat pembaca menebak-nebak, maksud dari kata “Srengenge” itu apa? Apa yang dibahas dalam cerpen tersebut?. Ternyata banyak kegiatan masyarakat di dalam cerpen ini, khususnya di pasar

D.      SIMPULAN
Pengarang adalah anggota masyarakat. Sebagai anggota masyarakat pengarang dapat menuangkan pemikiran-pemikiran atau ide-idenya dalam sebuah karya sastra yang dapat dinikmati oleh pembaca.  Dalam cerpen yang berjudul “Srengenge” ini, pengarang menuliskan realitas kehidupan masyarakat, khususnya di pasar. Cerpen ini ditulis sangat detail sehingga pembaca dapat menikmati dan membayangkan seolah-olah dia dapat masuk dalam cerpen ini. Dalam cerpen ini, banyak hal yang dapat dikaji melalui pendekatan sosiologi sastra karena cerpen ini tidak terlepas dari keadaan, suasana, kegiatan yang dilakukan masyarakat pada umumnya, khususnya di pasar.






DAFTAR RUJUKAN

Abar, Ahmad Zaini. 1999. Kritik Sosial, Pers, dan Politik Indonesia dalam Kritik Sosial dalam Wacana Pembangunan. Yogyakarta: UII Press
Budi Darma. 1995. Harmonium. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Damono, Sapardi Djoko. 1978. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
Wijaya, Wahyunityas. 2011. Sastra: Teori dan Implementasi. Surakarta: Yuma Pustaka.

No comments:

Post a Comment

Semantik - Konsep Dasar Makna

BAB II PEMBAHASAN A.     Pengertian Makna Untuk memahami suatu makna atau arti, Ferdinand de Saussure menyebutkan bahwasanya setiap ...