KRITIK SASTRA PADA CERPEN “SRENGENGE” KARYA SENO GUMIRA AJIDARMA MELALUI PENDEKATAN
SOSIOLOGI SASTRA
Abstrak
Pendekatan
sosiologi sastra merupakan realitas kehidupan bermasyarakat yang ditulis oleh
pengarang. Terdapat banyak karya sastra, baik novel maupun cerpen yang
menyuguhkan cerita yang sama atau mirip dengan kehidupan bermasyarakat secara
nyata. Kritik sastra dalam kajian sosiologi sastra ini memberikan informasi
pada dunia cerpen atau novel bahwasannya cerita-cerita tersebut merupakan
realitas kehidupan bermasyarakat yang ditulis oleh pengarang. Pengarang
merupakan anggota masyarakat yang dapat menuliskan karya sastranya sesuai
dengan realitas kehidupan yang diketahui atau dijalaninya. Cerpen “Srengenge”
karya Seno Gumira Ajidarma ini menarik untuk dikaji menggunakan kajian
sosiologi sastra karena cerita ini sangat berkaitan dengan kehidupan
bermasyarakat, khususnya di pasar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
realitas kehidupan masyarakat di dalam cerpen.
Kata kunci: Kritik sastra,
sosiologi sastra, cerpen Srengenge
A.
Pendahuluan
Karya sastra
adalah kegiatan kreatif sebuah karya seni yang bentuk dan ekspresinya
imajinatif (Wellek & Warren, 1955). Karya sastra berisi pemikiran, ide-ide,
dan pesan sehingga pengarang dapat berkomunikasi dengan pembaca. Karya sastra
merupakan hasil dari sebuah pemikiran dan ide-ide dari seorang pengarang atau
sastrawan yang mengandung nilai-nilai di dalamnya. Salah satu cara untuk
menikmati karya sastra dapat dilakukan dengan mengkaji atau mengkritik karya
sastra tersebut.
Kritik sastra
merupakan salah satu cabang dari ilmu sastra yang menghakimi sebuah karya
sastra. Selain menghakimi sebuah karya sastra, kritik sastra juga dapat
menafsirkan karya sastra secara lebih luas. Kritik sastra juga dapat
didefinisikan sebagai sebuah kegiatan untuk mempertimbangkan baik buruknya
sebuah karya sastra. Kegiatan tersebut tentunya harus dilakukan dengan
mencantumkan bukti-bukti yang ada. Adanya kritik sastra, mampu mengembangkan
sebuah karya sastra dan teori-teori karya sastra., salah satu teori dalam
sastra adalah sosiologi sastra.
Sosiologi sastra
berasal dari kata sosiologi dan sastra. Sosiologi berasal dari bahasa
Yunani yaitu sos yang berarti
bersatu, kawan, teman, dan logis atau
logos yang berarti sabda, perkataan,
perumpamaan. Sosiologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari masyarakat
dalam keseluruhannya, terutama yang berhubungan dengan aspek-aspek masyarakat
yang menyangkut interaksi antarmanusia. Sosiologi sastra menyajikan gambaran
kehidupan yang sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial atau realitas
kehidupan masyarakat yang ditulis oleh pengarang. (Wijaya, 2011)
Cerpen
“Srengenge” merupakan salah satu karya sastra dari Seno Gumira Ajidarma yang dimuat
dalam kompas harian atau cerpen kompas. Cerpen ini memiliki bentuk penerapan
dari sebuah pendekatan sosiologi sastra. Cerpen ini memiliki keterkaitan dengan
kehidupan sosial di masyarakat. Cerpen “Srengenge” ini menceritakan tentang
kehidupan bermasyarakat yang ada di pasar dan sebuah fenomena yang dialami oleh
warga pasar.
Berdasarkan hal
tersebut, cerpen “Srengenge” karya Seno Gumira Ajidarma ini menarik untuk
dikaji dalam kritik sastra melalui pendekatan sosiologi sastra. Cerpen ini
dirasa tepat dikaji dengan pendekatan sosiologi sastra karena di dalam cerpen
ini terdapat kehidupan sosial di masyarakat.
B.
Teori
Sosiologi Sastra
Dalam wacana
studi sastra, sosiologi sastra sering didefinisikan sebagai salah satu
pendekatan dalam kajian sastra yang memahami dan menilai karya sastra dengan
mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan. Dalam sosiologi sastra yang
dipelajari meliputi (1) konteks sosial pengarang dan masyarakat yang dituju,
(2) sastra sebagai cerminan masyarakat, contohnya dalam fakta-fakta sosial
dalam masyarakat seperti kawin paksa pada novel Siti Nurbaya.
Konsep tentang
sosiologi sastra, yaitu karya sastra tidak dapat dipahami seutuhnya tanpa
dihubungkan dengan kebudayaan dan peradaban yang menghasilkannya. Oleh karena
itu, pemahaman terhadap karya sastra pun harus selalu menempatkannya dalam
bingkai yang tak terpisahkan dengan berbagai variabel, seperti pengarang
sebagai anggota masyarakat, kondisi sosial budaya, politik, ekonomi yang ikut
berperan dalam melahirkan karya sastra, pembaca yang akan membaca menikmati dan
memanfaatkan karya sastra tersebut. (Damono, 1978)
Sosiologi sastra
merupakan ilmu yang memanfaatkan faktor sosial sebagai pembangun sastra. Faktor
sosial diutamakan untuk mencermati karya sastra. Pengarang sebagai pencipta
karya sastra adalah anggota masyarakat. Dalam menciptakan karya sastra, tentu
juga tidak terlepas dari masyarakat tempatnya tinggal, sehingga hal yang
digambarkan dalam karya sastra sering kali merupakan representasi dari realitas
yang terjadi dalam masyarakat. Demikian juga pembaca sebagai penikmat karya
sastra. Pembaca juga merupakan anggota masyarakat yang ikut berpengaruh dalam
memilih bacaan maupun memaknai karya sastra yang dibacanya.
Sosiologi sastra
menyajikan gambaran kehidupan yang sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial
atau realitas kehidupan masyarakat yang ditulis oleh pengarang. Dalam
pendekatan sosiologi sastra, sesuatu yang dianggap menyimpang akan menjadi
bahan menarik bagi sastrawan. Suatu sastra yang mengandung unsur kritik adalah
bentuk komunikasi dalam masyarakat yang bertujuan sebagai kontrol terhadap
sistem sosial. (Abar dan Zaini, 1999)
C.
Kritik
Sastra Pada Cerpen “Srengenge” Karya Seno Gumira Ajidarma Melalui Pendekatan
Sosiologi Sastra
Cerpen
“Srengenge” karya Seno Gumira Ajidarma menceritakan tentang kehidupan
bermasyarakat di pasar. Berikut adalah kritik sastra pada cerpen “Srengenge”
karya Seno Gumira Ajidarma melalui pendekatan sosiologi sastra.
“Langit masih gelap. Namun, seperti
biasa, pasar itu mulai hidup. Cahaya lentera, obor, maupun petromaks, menerangi
kegiatan pasar di perempatan jalan itu, bercampur cahaya lampu neon dari tiang
listrik dan toko-toko Tionghoa yang masih tutup. Tanah yang becek dan genangan
air sisa hujan kemarin malam memantulkan cahaya.”
Pada
kutipan cerpen di atas, menggambarkan keadaan pasar di pagi hari yang masih
gelap tetapi pasar mulai hidup. Keadaan pasar pada cerpen “Srengenge” ini sama
seperti pasar-pasar tradisional pada umumnya, remang-remang terkena cahaya
lampu dan obor.
“Suatu
ketika seorang pemuda melaju dengan sepeda motornya dari balik malam dan
genangan air hujan itu menyiprati wajah tukang sayur yang seketika memaki-maki
dengan dahsyat, mendoakan agar nenek moyang maupun keturunan penunggang sepeda
motor tadi disiksa habis-habisan di neraka.”
Pada
kutipan cerpen di atas, menggambarkan keadaan jalan yang banyak genangan air
hujan dan tiba-tiba ada pemuda yang melaju dengan sepeda motornya seketika
mengenai penjual sayur dan penjual sayur itu langsung memaki-makinya. Dalam
kehidupan bermasyarakat tentu saja ada hal baik dan buruk, kutipan di atas
menggambarkan kehidupan bermasyarakat yang kurang baik, wajar saja bila penjual
sayur itu memaki-maki pemuda yang melaju seenaknya sendiri sehingga wajah
penjual sayur tercriprat genangan air. Pengarang tidak menyebutkan si penjual
sayur itu laki-laki atau perempuan. Namun, jika dilihat dari kalimat yang
ditulis pengarang, penjual sayur itu adalah seorang ibu-ibu. Ibu-ibu identik
dengan kecerewetannya, apalagi ibu-ibu sayur di pasar.
“Langit masih gelap. Tiga ekor kambing
di seret-seret. Seekor ayam berkokok. Teriakan wanita-wanita pedagang saling
bersahutan. dering bel becak dengan bawaan sayur mayur menggunung dan masih
ditunggangi si wanita pedagang di atas sayur mayur itu menyela di celah
hentakan musik jaipongan dari warung suupermi.”
Pada
kutipan cerpen di atas menggambarkan keadaan dan kegiatan pagi hari di pasar
tradisional. Teriakan wanita-wanita pedagang bersahutan menawarkan dagangannya.
Keadaan dan kegiatan seperti itu sama persis dengan keadaan dan kegiatan pasar
tradisional umumnya pada pagi hari.
“Para pedagang menggelar dagangannya di bawah atap maupun di tepi
jalan. Mengggelar harapan dan kemunginan yang tak lagi terlalu pasti hari-hari
ini. beberapa orang saling menyapa, beberapa orang mulai bertengkar. Mata seorang
pedagang kentang melirik goyang pinggul wanita penjual kayu bakar. Mobil patroli
polisi lewat perlahan dengan lampu merahnya yang nguik-nguik dan berpijar-pijar
menggetarkan.”
Pada
kutipan cerpen di atas, menggambarkan kegiatan pagi hari di pasar tradisional.
Banyak pedagang yang menggelar dagangan serta harapan agar mendapat keuntungan
yang banyak. Sudah menjadi kebiasaan orang yang memiliki jiwa sosial jika
bertemu dengan orang lain selalu bertegur sapa. Dalam kehidupan nyata pun juga
seperti itu.
“Orang-orang yang tidak jelas kerjanya berkongkok di dekat tukang
rokok. Dan tukang rokok itu tanpa diminta segera menawari mereka rokok kretek
yang tanpa menunggu lebih lama lagi segera disambar dan diselipkan di telinga
mereka masing-masing.”
Pada kutipan di atas, menggambarkan kegiatan pagi hari di pasar
tradisional dan kegiatan sosial bermasyarakat. Tukang rokok yang menawarkan
rokok kretek pada orang-orang yang tidak jelas kerjaannya. Kemudian,
orang-orang tersebut segera mengambil rokok yang ditawarkan tukang rokok itu.
Kegiatan tersebut biasa dilakukan orang desa pada umumnya. Istilahnya selalu “tawa-tawa” dalam bahasa Jawa, yang
artinya selalu menawarkan pada orang-orang sekelilingnya (tidak pelit).
“Bau segala jenis sayur mayur dan rempah-rempah mulai menusuk hidung.
Seorang wanita pedangan tua memaki-maki dan melempari kucing yang berhasil
menggondol ikan asin dengan sebungkah besar bawang merah.”
Pada
kutipan di atas menggambarkan keadaan pasar tradisional yang selalu tercium
aroma sayur-mayur dan rempah-rempah yang menusuk hidung. Banyak pedagang,
umumnya wanita yang sering memaki-maki hewan di pasar dengan suara cempreng dan
cerewet khususnya kucing yang selalu berhasil menggondol ikan asin miliknya.
“Langit masih gelap. Dari radio transistor di warung itu warta berita
mulai mengalir. Sebuah bom mobil meledak di Jerman barat, menewaskan seorang
industrialis, tiga gerilyawan Palestian tewas diberondong patroli angkatan laut
Israel. Bank sumsum tulang belakang pertama berdiri di New York. Presiden
Suriah Hafes Assad menelepon pemimpin Libya Muammar Khadafi, tentang kunjungan
PM Israel Shimon Perez ke Maroko. PM Inggris Margaret Thatcher melunakan
sikapnya yang menentang sanksi ekonomi kepada Afrika Selatan. Kerajaan Playboy
mulai bangkrut. Pemain bola Argentina Diego Maradonna berlibur ke Tahiti.
Presiden AS Ronald Reagan memperingatkan baya komunis dari Amerika Tengah.
Film Ibunda meraih sembilan Citra. Korban kebocoaran reaktor
nuklir Chernobyl terus meningkat. Aktris Liz Taylor menyatakan
dirinya masih terbuka untuk cinta. Lantas, warta berita diakhiri dengan
pengumuman: Perhatian. Mulai hari ini, matahari tak terbit lagi. Harap
maklum.”
Salah satu alat elektronik yang bisa
didengarkan di pasar adalah radio. Banyak orang yang berjualan sambil
mendengarkan radio, entah itu musik atau berita. Pada kutipan cerita di atas
merupakan salah satu pernyataan yang di sampaikan penyiar radio di radio milik
salah satu warung di pasar tradisional. Semua warga pasar tak percaya akan
pernyataan tersebut, karena penyiar radio sangat santai dalam menyiarkan hal
tersebut tanpa memikirkan perasaan orang yang mendengarkannya dan sok tahu.
“Tiba-tiba, seseorang meloncat ke atas truk. Ia mengangkat kedua
tangannya. Mengembangkan jari-jarinya. Dan berteriak.
“Wahai saudara-saudaraku! Bertobatlah! Akhir zaman telah tiba! Matahari
telah berakhir! Bertobatlah selagi sempat!”
Ia seorang muda yang tampan. Rambutnya ikal dan panjang. Pakaiannya
compang-camping. Wajahnya bercahaya. Orang-orang di dekatnya berhenti bekerja.
Orang-orang di warung yang sempat mendengar siaran tadi tersengat. Namun wajah
mereka masih juga bertanya-tanya.
“Wahai saudara-saudaraku! Aku berseru kepadamu, mintalah pengampunan
pada Tuhan sekarang juga! Matahari tak akan lagi terbit! Inilah hari terakhir
peradaban manusia! Bertobatlah! Mintalah ampun atas kehidupan kalian yang
bergelimang dosa! Supaya kalian terhindar dari siaksa hari kiamat yang
mengerikan! Bertobatlah! Sebelum azab Tuhan membuatmua sengsara!
Saudara-saudaraku! Bertobatlah! Saudara-saudaraku…”
………………………………………………………………………….
“O, dasar orang gila! Tapi
omongannya kok seperti orang waras tadi ya? Seperti orang khotbah!”
“Ah, sudah, jangan dipikir! Cuma orang gila saja kok!”
“Iya! Orang gila! Masah matahari dibilang nggak terbit!”
Pada
kehidupan bermasyarakat, kehidupan sehari-hari di dunia ini pasti ada yang
namanya orang gila, apalagi di pasar tradisional. Orang gila selalu dianggap
pengganggu dan ditakuti oleh kalangan masyarakat. Namun, dalam kutipan di atas,
orang gila itu berbicara seolah-olah dia adalah orang waras dan tidak mungkin
orang-orang di sekitarnya percaya dengan perkataannya. Kenyataan dalam
kehidupan bermasyarakat pun seperti itu.
“mereka sudah lupa kejadian tadi. Obrolan di warung menghangat sekitar
desas-desus si janda juragan ayam. Ada kabar ia mulai lirik-lirikan dengan
pedagang tempe. Lantar mereka juga mempersoalkan pasaran swalayan yang akan
segera dibangun. Penggusuruan. Kebakaran. Banjir. Kredit. Sawah. Anak.
Kemajuan. Kendaraan Jepang. Wanita desa. Pemilu…”
Pada
kutipan di atas menggambarkan bahwa di pasar tradisional selalu terjadi rumpi
atau merumpi membicarakan segala hal yang ada. Tidak hanya di pasar tradisional
saja, di desa, di rumah tetangga, di manapun selalu ada yang namanya kegiatan
merumpi, apalagi para ibu-ibu di pasar.
“Tuhan!” seseroang tiba-tiba berteriak. Ia sujud dan menengadahkan
kedua tangan, “Ampuni aku, Tuhan!”
Tapi seseorang lain menghardiknya
“Baru gitu aja ngeper! Ini ‘kan cuma omong kosong! Mana
mungkin matahari tidak terbit ? kalian percaya si Sukab gila itu? Kalian
percaya sama sandiwara radio? Gombal! Ayo kerja seperti biasa! Layani pembeli!
Matahri pasti akan terbit! Pasti!”
“Pasti! Pasti! Tapi dari sebelah barat! Sok jago lu! Apa kamu bisa
menahan matahari terbit dari barat? Kamu tahu, apa artinya matahari terbit dari
sebelah barat?” sergah yang lain lagi.
“O… jadi kalian percaya omongan-omongan tidak masuk akal itu? Kalian
ini sudah gila apa? Sudah seperti Sukab?”
“Tapi, coba lihat! Mana matahari?”
……………………………………………………………………...
Kehidupan
bermasyarakat selalu terdapat pro dan kontra. Seperti kutipan percakapan cerpen
di atas, terdapat banyak pro dan kontra mengenai langit masih gelap dan esok
akan terbit matahari dari barat tandanya akan kiamat. Pro dan kontra dalam
bermasyarakat itu sudah biasa terjadi.
Seseorang melompat ke atas truk. Teriakannya keras, mengatasi
yang lain.
“Saudara-saudara sekalian! Inilah hari terakhir bagi kita untuk
bertobat! Besok matahari terbit di barat, saat datangya hari kiamat! Langit
akan runtuh! Gunung-gunung akan meletus! Sungai meluap! Angin ribut! Kita semua
kaan tewas! Inilah kesempatan terakhir saudara-saudara! Kesempatan terakhir
bertobat dan mengurangi dosa kita yang bergelimang! Setiap hari kita hanya
berpikir mencari keuntungan untuk diri sendiri! Tak pernah peduli nasib orang
lain! Ayo kita mohon ampunan besama-sama selagi masih sempat!”
Orang-orang memandangnya dengan bingung. Sebagian, meskipun ngeri
melihat langit gelap, belum begitu yakin kiamat sudah datang besok.
Oang lain lagi melompat ke atas truk.
“Jangan percya dia! Jangan percaya kata-katanya! Jangan pedulikan dia!
Ayo kerja! Jangan buang waktu!”
Tapi ornag-orang juga tidak bergerak.
Kini orang ketiga melompat ke atas truk.
“Tenang! Tenang! Sekarang begini saja saja saudara-saudara. Marilah
kita berpikir sedikit lebih tenang. Jangan panik! Orang sabar kekasih Tuhan.
Begini lho maksud saya. Semua ini ‘kan belum pasti? Belum pasti matahari terbit
di timur ‘kan? Jadi, maksud saya, kita tungggu saja. Kalau ada cahaya di barat
besok, kita buru-buru minta ampun. Kalau terbitnya di timur, ya kerja lagi
seperti biasa. Bagaimana? Setuju? Ini praktis ‘kan? Sebagai pedagang kita harus
memikirkan segenap untung ruginya bukan?”
Wajah orang-orang kini menjadi cerah. Mereka seperti telah mendapat
jawaban. Mereka serentak menyahut.
“Setuju! Rugi kalau minta ampun sekarang!”
“Betul sekali! Nanti saja, kalau pasti kita akan mati!”
Orang di atas truk yang ketiga tadi berteriak lagi.
“Saudara-saudara, bagaimana kalau kita lihat kepastiannya di barat?”
Maka, seperti degerakan tenaga gaib, orang-orang itu segera bergerak
semua ke barat dengan wajah bertanya-tanya. Mereka berjalan di barat dengan
sorot pandangan harap-harap cemas. Pasar segera jadi kosong. Hanya
gelandanganitu saja satu-satunya yang tinggal. Tidur melingkar di emper toko.
Semuanya berjalan ke arah barat. Pedagang kentang, wortel, kubis, kayu bakar,
supermi, maupun pemilik toko kelontong, bergegas melangkah menuju ke barat.
Dalam
kehidupan bermasyarakat selalu ada orang yang mempengaruhi, entah itu baik
maupun buruk. Orang yang akan dipengaruhi kadang juga akan terpengaruh apabila
pernyataan-pernyataan orang yang mempengaruhi itu dirasa benar olehnya. Dalam
kehidupan bermasyarakat secara nyata pun seperti itu, banyak orang yang
mempengaruhi untuk hal kebaikan, ada pula yang mempengaruhi untuk hal yang
tidak baik.
“Setiap orang yang bersua di jalan bergabung. Semua orang menuju ke
barat. Langkah mereka menderap di atas tanah yang becek dan genangan air sisa
hujan semalam. Mereka telah meninggalkan belantara pencakar langit yang tandus
dan gersang, melaju ke luar kota.”
Dalam
bermasyarakat, orang selalu ingin tahu apa yang terjadi dan gampang ikut-ikutan
dengan orang yang bergerombol. Seperti kutipan cerpen di atas, mereka yang
bersua dengan orang-orang pasar yang ingin pergi ke barat untuk melihat
matahari pun juga ikut bergabung, meskipun tanah becek dan genangan air hujan
harus mereka lewati. Karena orang-orang yang penasaran akan selalu berusaha untuk
mencari tahu kebenarannya dengan cara mereka sendiri.
Tiba-tiba saja, entah dari mana, muncul Sukab. Ia berdiri di tepi
pantai, menghadap ke arah orang-orang. Wajahnya masih tampan dan bercahaya.
Rambutnya panjang dan ikal. Ia memakai pakiaan combapng-camping. Dan seperti
tadi, ia mulai lagi bekhotbah.
“Saudara-saudaraku! Bertobatlah! Matahari…”
Mereka yang mengenalinya terperanjat.
“Lho, itu Sukab?”
“Iya, si Sukab!”
“Sukab? Sukab siapa?”
“Itu lho, orang gila yang suka ketawa-ketawa sendiri di gardu listrik.”
“O, orang gila yang suka nyanyi Walangkekek itu?”
Orang-orang banyak itu sudah siap
memaki-maki. Namun seperti diingatkan oleh sesuatu, hampir bersaaman mereka
mendongak ke langit. Langit masih saja gelap gulita.
Banyak orang yang menyebut orang gila itu
orang yang tidak waras, orang yang sakit kejiwaannya. Pada kutipan di atas,
lagi-lagi orang gila itu memberi pengaruh kepada semua orang yang sedang
berkumpul di ufuk barat. Namanya aja orang gila, siapa yang akan mempercayai
setiap perkataannya? Bukan dipercaya, malah dimaki-makilah dia. Sifat manusia
dalam bermasyarakat ini sudah mendarah daging sampai saat ini. Orang gila ya
orang gila, tak perlu diacuhkan perkataannya. Karena pada dasarnya orang gila
itu tidak mempunyai pikiran.
Secara keseluruhan, cerpen
“Srengenge” ini memiliki banyak kesamaan dalam kehidupan bermasyarakat secara
nyata, khususnya di pasar. Pengarang sebagai anggota masyarakat sangat
mengetahui kehidupan bermasyarakat di pasar. Hal ini dibuktikan pada tiap
kalimat yang dituliskannya dalam cerpen yang berjudul “Srengenge” ini,
pengarang menuliskannya dengan sangat detail. Terlihat dari judulnya saja sudah
menarik dan membuat pembaca menebak-nebak, maksud dari kata “Srengenge” itu
apa? Apa yang dibahas dalam cerpen tersebut?. Ternyata banyak kegiatan
masyarakat di dalam cerpen ini, khususnya di pasar
D.
SIMPULAN
Pengarang adalah anggota
masyarakat. Sebagai anggota masyarakat pengarang dapat menuangkan
pemikiran-pemikiran atau ide-idenya dalam sebuah karya sastra yang dapat
dinikmati oleh pembaca. Dalam cerpen
yang berjudul “Srengenge” ini, pengarang menuliskan realitas kehidupan
masyarakat, khususnya di pasar. Cerpen ini ditulis sangat detail sehingga
pembaca dapat menikmati dan membayangkan seolah-olah dia dapat masuk dalam
cerpen ini. Dalam cerpen ini, banyak hal yang dapat dikaji melalui pendekatan
sosiologi sastra karena cerpen ini tidak terlepas dari keadaan, suasana,
kegiatan yang dilakukan masyarakat pada umumnya, khususnya di pasar.
DAFTAR RUJUKAN
Abar, Ahmad Zaini. 1999. Kritik Sosial, Pers, dan Politik Indonesia dalam Kritik Sosial dalam
Wacana Pembangunan. Yogyakarta: UII Press
Budi Darma. 1995. Harmonium. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Damono, Sapardi Djoko. 1978. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar. Jakarta: Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa
Wijaya, Wahyunityas. 2011. Sastra: Teori dan Implementasi. Surakarta: Yuma Pustaka.
No comments:
Post a Comment