BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sastra Indonesia adalah sebuah
istilah yang meliputi berbagai macam karya sastra yang berada di Indonesia.
Sastra Indonesia sendiri dapat merujuk pada sastra yang dibuat di wilayah Indonesia.
Sering juga secara luas dirujuk pada sastra yang bahasa akarnya berdasarkan
bahasa melayu (dimana bahasa Indonesia adalah turunannya).
Dalam sejarah sastra terdapat
periodisasi sastra. Periode sastra adalah pembabakan waktu terhadap
perkembangan sastra yang ditandai dengan ciri-ciri tertentu. Maksudnya tiap
babak waktu (periode) memiliki ciri tertentu yang berbeda dengan periode yang
lain. Secara urutan waktu terbagi atas angkatan Balai Pustaka, angkatan
Pujangga Baru, angkatan zaman Jepang, angkatan ‘45, tahun 1950-an, angkatan 66,
tahun 1970-an, tahun 1980-an, tahun 1990-an, tahun2000-sekarang (milenium).
Dalam makalah ini, kami akan
membahas sastra pada zaman Jepang. Pada sastra zaman Jepang relatif singkat dan
ternyata menghasilkan karya-karya sastra
yang perlu mendapat perhatian tersendiri, sastra Indonesia di masa Jepang
berlangsung lebih kurang 3,5
tahun. Waktu yang amat singkat bagi pertumbuan suatu kebudayaan. Akan tetapi,
dilihat dari peranan sastra masa itu bagi pengembangan selanjutnya, maka sastra
Indonesia dimasa Jepang perlu diberi tempat tersendiri dalam sejarah sastra Indonesia.
Dilihat dari pertumbuhan kebudayaan
Indonesia, zaman Jepang adalah penempaan pengalaman hidup dengan berbagai
penderitaan sehingga memungkinkan timbulnya keragaman dan kedewasaan sastra kemudian.
dalam kajian ini yang dimaksud dengan kesusastraan di masa Jepang ialah
kegiatan dan cipta sastra yang terwujud dalam masa Jepang, dan mempunyai
sifat-sifat khas masa tersebut. Oleh karena itu secara singkat dapat dikatakan bahwa
kesusastraan dimasa Jepang ini menunjukan adanya tendensi zaman.
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
latar belakang kesusastraan
zaman Jepang?
2. Bagaiman
situasi sastra Indonesia zaman Jepang?
3. Bagaimana karakteristik kesusastraan zaman Jepang?
4. Siapa
saja pengarang dan hasil karya sastranya pada zaman Jepang?
5. Bagaimana perkembangan cerita pendek pada zaman
Jepang?
6. Bagaimana perkembangan drama pada zaman Jepang?
C.
Tujuan
penulisan
1. Mendeskripsikan
kesusastraan zaman Jepang.
2. Mendeskripsikan
situasi sastra Indonesia pada zaman Jepang.
3. Mendeskripsikan
karakteristik kesusastraan zaman Jepang.
4. Mendeskripsikan
pengarang dan hasil karya sastranya pada zaman Jepang.
5. Mendeskripsikan perkembangan cerita pendek pada zaman
Jepang.
6. Mendeskripsikan perkembangan drama pada zaman Jepang.
BAB II
PEMBAHASAN
Zaman Jepang merupakan jembatan atau
pemisah antara angkatan pujangga baru dengan angkatan ’45. Munculnya zaman
Jepang ini karena Jepang
datang ke Indonesia yang menggeser Belanda.
A. Latar
Belakang
Munculnya zaman Jepang mulai tahun 1942 yaitu bersamaan
Jepang ke Indonesia dan Jepang berkuasa di negeri ini. Menurut Jassin (1967:
68), pada zaman ini para pengarang beserta seniman dikumpulkan oleh Jepang di
kantor pusat kebudayaan Jepang yang dinamakan keimin bunka sidosho.
Lembaga ini diketuai oleh Armijn Pane dengan penasihat Bangsa Jepang bernama
Sakai. Anggota-anggota lembaga tersebut antar lain: Sutomo Jauhar Arifin, Usmar
Ismail, dan Inu Kertapati.Jepang mempunyai tujuan terselubung untuk
mengumpulkan para pengarang dan para seniman tersebut, yaitu mereka diminta
membuat lagu-lagu, lukisan, slogan, sajak dan sandiwara serta film yang
digunakan sebagai alat propaganda Jepang. Usaha dan kegiatan harus
dipropagandakan itu antara lain: menanam biji jarak, giat menambah produksi,
bekerja keras di pabrik, sanggup masuk barisan jibaku tai (barisan
berani mati), membantu perang Asia Timur Raya, dan lain-lain. Kantor pusat
kebudayaan didirikan untuk berkumpulnya para sastrawan dan menampung propaganda
Jepang, serta sebagai badan sensor penerbitan. Dalam hal ini, Jepang bermaksud
menguasai Asia dengan semboyan 3A. Perkumpulan sandiwara disatukan dibawah POSD
(Perserikatan Oesaha Sandiwara Djawa). Jepang menyampaikan propagandanya lewat
pengetahuan kebudayaan yang bernaung dalam kantor pusat kebudayaan. Lewat
pengetahuan kebudayaan tersebut dapat melancarkan jiwa propaganda orang-orang
bumi untuk bekerja giat dan bekerja di pabrik-pabrik.
Hasil karya sastra zaman Jepang
dapat dilihat dari segi bentuk dan bahasa. Karya sastra dilihat dari segi bentuk
adalah bentuk karya sastra yang dihasilkan berupa cerpen, puisi, sajak, dan
drama. Jika melihat bentuk-bentuk karya tersebut, umumnya berbentuk pendek dan
singkat. Hal ini disebabkan pengaruh kondisi saat itu, yaitu masyarakat
dituntut untuk bekerja keras, cepat, dan singkat dalam segala hal. Dari segi
bahasa, bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia dalam segala hal
bidang maupun dalam kehidupan sehari-hari sehingga bahasa Indonesia mengalami
perkembangan yang pesat karena Bahasa Indonesia diharuskan dipakai di
sekolah-sekolah, Perguruan Tinggi dan dalam pergaulan sehari-hari. Perkembangan
Bahasa Indonesia ketika itu bisa dikatakan sedikit dipaksakan, agar dalam waktu
yang secepatya-cepatnya menjadi alat komunikasi yang dapat digunakan ke seluruh
plosok untuk semua bidang. Pemerintah Jepang bermaksud untuk mengerahkan tenaga
bangsa Indonesia untuk Perang Asia Timur Raya sampai dari desa-desa yang jauh
terpencil sekalipun, mereka merasa perlu menggunakan Bahasa Indonesia. Bahasa
Indonesia akhirnya meluas penggunaanya ke segala penjuru Nusantara, sedangkan
semakin banyak orang Indonesia mengalami suatu perasaan yang selama ini belum
dikenalnya dengan mendalam, yaitu perasaan nasionalisme melalui penggunaan
Bahasa Indonesia. Bertambah lama jalannya perang, bertambah banyak orang
Indonesia yang memakai Bahasa Indonesia, maka bertambah kuat pulalah terasa
hubungan antara sesamanya. Bahasa Indonesia menjadi sarana komunikasi serta
wahana integrasi bangsa Indonesia.
Genre atau bentuk karya sastra drama
mendapat perhatian dari pemerintah Jepang, sehingga mengalami perkembangan yang
pesat. Hal ini disebabkan, Jepang menganggap bahwa bentuk drama mirip dengan
pertunjukan ketoprak sehingga tepat dijadikan sebagai alat propaganda. Jepang
melihat bahwa masyarakat zaman ini senang dengan kesenian tersebut dan tidak
asing lagi, sehingga mereka mudah memahami pesan yang disampaikan lewat cerita.
Pertujukan drama didukung oleh Jepang, terutama masalah biaya dan film-film
Barat dilarang.
Pada zaman Jepang dikenal adanya
sastra tersimpan dan tersiar. Karya sastra tersimpan adalah hasil karya sastra
pengarang yang disimpan sejak tahun 1940-an sehingga berhasil terbit pada zaman
Jepang. Sedangkan sastra tersiar adalah sastra yang berhasil diterbitkan baik
lewat diri sendiri. Penerbitan yang ada pada zaman Jepang adalah Panji Pustaka
dan majalah Kebudayaan Timur.[1]
Pada masa penjajahan Jepang kita
melihat semakin banyak jumlah orang yang menulis sajak dan cerpen, demikian
juga sandiwara. Sedangkan Roman kurang ditulis. Kehidupan kacau dalam bidang
ekonomi juga mengajarkan para pengarang Indonesia supaya belajar hemat dengan
kata-kata, setiap kalimat, setiap alinea ditimbang dengan matang, baru
disodorkan kepada pembaca. Juga segala superlativisme yang menjadi ciri dan
kegemaran para pengarang pujangga baru telah ditinggalkan. Ekonomisasi kata dan
bahasa itu tampak jelas sekali. Bahkan cara penulisan pun disederhanakan. Dalam
memilih materi untuk menulis sastra menjadi lebih sederhana. Yang menjadi
perhatian para pengarang bukanlah lagi masalah yang pelik ataupun kehiduapan
yang rumit, melainkan kenyataan sehari-hari yang tampak karena benar-benar
terjadi.[2]
Pada
majalah Djawa Baroeterdapat juga dua kisah sandiwara yakni yang berjudul
“Perkawinan 25 Tahun” karya Takamura Sasaki dan “Kuli dan Romusha” karya J.
Hutagalung. Drama berjudul “Perkawinan 25 Tahun”karyaTakamura
Sasaki berceritatentangupayaanak-anaksebuahkeluarga di
Jepanguntukmerayakanperkawinanperak orang tuanya. Sang ayah berada di Indonesia
sementara sang ibubesertaanak-anaknyatinggal di Tokyo.
Sebagaikejutanperayaanadalahsiaran radio langsungdari Batavia dimana sang ayah
yang berpidato, Sementara drama “KulidanRomusha” karya J.
Hutagalungberceritatentangseorangdokter Indonesia yang menjadidokterromushadi
Deli.[3]
B. Situasi
Sastra Indonesia di Masa Jepang
Banyak pengarang angkatan ’45 yang mulai berakar
pada sastra Indonesia di masa Jepang, antara lain: Chairil Anwar, Idrus,
Rosihan Anwar, Usmar Ismail, dan lain-lain. Macam-macam sikap pengarang bangsa
kita menerima kedatangan Jepang. Sikap itu dapat diketahui dari sastra yang
mereka hasilkan. Ada beberapa pengarang yang menyambut kedatangan Jepang di Indonesia
dengan gembira dan penuh harapan, walaupun kemudian mereka menyadari apa maksud
Jepang yang sebenarnya.[4]
Disamping itu, ada beberapa pengarang yang sejak semula curiga terhadap maksud
kedatangan Jepang di Indonesia. Mereka tidak mudah menerima propaganda Jepang
yang menyatakan diri sebagai “saudara tua” bangsa Indonesia. Pada waktu Jepang
berkuasa di Indonesia hampir semua perkumpulan dilarang, kecuali
perkumpulan-perkumpulan yang didirikan atau yang seizin pemerintah seperti
PUTERA (Pusat Tentara Rakyat) yang dipimpin oleh Bung Karno.
Pada zaman Jepang penerbitan majalah sangat terbatas
jumlahnya. Pujangga Baru tidak lagi terbit. Majalah sastra dan kebudayaan yang
penting pada waktu itu antara lain Kebudayaan Timur, yaitu majalah resmi
yang diterbitkan oleh Pusat Kebudayaan, Panca Raya, dan Panji Pustaka.[5]
C. Karakteristik
Kesusastraan pada Zaman Jepang
1. Genre
yang muncul berupa cerpen, puisi, dan drama. Selain itu muncul sajak,
sandiwara, dan film.
2. Bahasa
yang digunakan adalah bahasa Indonesia.
3. Corak
karya sastranya tersimpan dan tersiar.
4. Umumnya
sastra tersiar pada masa itu tidak terlepas dari unsur tendens, yaitu tendens
membantu perang Jepang, bahkan sering unsur tendens itu begitu jelas sehingga
berubah sifat menjadi propaganda, seperti pada dua novel, yaitu Palawija
karangan Karim Halim dan Cinta Tanah Air karangan Nur Sutan Iskandar.
Sedangkan sastra tersiar yang tidak mengandung tendens,
umumnya menyatakan maksud isinya dalam bentuk simbolik atau bersifat pelarian
dari realitas kehidupan yang pahit, dapat dipandang bersifat simbolik karena
berlaku pada dunia binatang. Sedangkan yang dimaksud pelarian adalah pelarian
kepada Tuhan.
5. Kritik
selalu muncul bila tidak ada keseimbangan antara penguasa dan masyarakat serta
ada hak dan martabat manusia yang dilecehkan.
Contohnya, Dengar
Keluhan Pohon Mangga, Corat Coret di Bawah Tanah, dan Taufan di Atas Asia.
6. Tidak
muncul adanya angkatan, karena tidak ada cita-cita yang sama yang akan
diperjuangkan.
7. Bersifat
realistis (romantik-realistis). Hal ini disebabkan corak romantik pada masa itu
langsung berhubungan dengan kenyataan hidup yang pahit, yang penuh dengan
penderitaan.[6]
D. Pengarang
dan Hasil Karyanya
Para pengarang sastra zaman Jepang tidak sebanyak
pengarang periode sebelumnya. Para tokoh zaman Jepang antara lain: Idrus, Usmar
Ismail, Rosihan Anwar, dan Amal Hamzah.
Para
pengarang dan hasil karyanya:
1. Idrus
Hasil karyanya:
-
Corat-coret di Bawah Tanah
-
Dokter Bisma
-
Keluarga Surono
-
Kejahatan Membalas Dendam (drama)
-
Dengarkan Keluhan Pohon Mangga[7]
-
Kota
– Harmoni
-
Sanyo
-
Heiho
2. Usmar
Ismail
Hasil karyanya:
-
Puntung Berasap (kumpulan sajak)
-
Diserang Rasa (sajak)
-
Ayahku Pulang
-
Mutiara dari Nusa Laut
-
Tempat yang Kosong
-
Sedih dan Gembira (kumpulan drama)
-
Cahaya Merdeka (sajak)
3. Rosihan
Anwar
Hasil karyanya:
-
Radio Masyarakat (cerpen)
-
Lukisan (sajak)
-
Raja Kecil
-
Bajak Laut di Selat Malaka
-
Keyakinan (sajak)
-
Lahir dan Batin (sajak)
4. Amal
Hamzah
Hasil karyanya:
-
Gita Nyali (terjemahan dari bahasa
India, karya R. Tagore)
-
Pembebasan Pertama (Kumpulan Sajak dan Cerpen)
-
Buku dan Penulis (drama)
-
Tuan Amin (drama)
-
Teropong (cerpen)
-
Bingkai Retak (cerpen).
5. Abu
Hanifah (El-Hakim)
Hasil karyanya:
-
Taufan di Atas Asia
-
Dokter Rimba
-
Imtelek Istimewa
-
Dewi Reni
-
Isnan Kamil
-
Rogaya
-
Mambang Laut
6. Maria
Amin
Hasil karyanya:
-
Kapal Udara
-
Tengoklah Dunia Sana
-
Kekasihku Semua
7. Nursjamsu
Hasil karyanya:
-
Terawang (cepen)
-
Membayar Utang (sajak)
8. Bakri
Siregar
Hasil karyanya:
-
Di Tepi Ka’bah
9. MS.
Ashar
Hasil karyanya:
-
Bunglon.[9]
E.
Perkembangan
Cerita Pendek pada Zaman Jepang
Pada zaman Jepang ini cerpen tumbuh dengan subur.
Beberapa pengarang baru muncul. Sayembara pengarang cerpen diadakan dalam majalah-majalah
yang terbit saat ini seperti Pandji Pustaka, Djawa Baroe, dan lain-lain cerpen
banyak diberi tempat.
Cerpen Usmar Ismail dan Rosihan Anwar telah
disebut-sebut. Selain mereka, pada zaman Jepang itu H.B Jassin (lahir di
Gorontalo, 31 Juli, 1817) juga mebulis cerpen. Cerpen yang berjudul ‘Anak Laut’
kemudian bersama dengan cerpen-cerpen buah tangan beberapa pengarang lain diterbitkan
secara bersama Pancaran Cinta (1946).
‘Anak Laut’ bukanlah cerpen Jassin yang pertama. Tetapi mungkin cerpennya yang
terakhir. Sebelum perang Jassin menulis cerpen yang dimuat dalam majalah Poedjangga Baroe, antara lain yang
berjudul ‘Nasib Volontaire’ (1941). Pada masa sesudahnya Jassin lebih
mencurahkan perhatian kepada penulisan kritik dan esai sastra sambil
menyelenggarakan dokumentasi sastra modern.
Pengarang cerpen lain yang muncul pada zaman Jepang
Bakrie Siregar (lahir di Langsa, Aceh tahun 1922). Cerpen yang pertama berjudul
‘Di Tepi Kawah’ mendapat hadiah pertama sayembara mengarang cerpen. Cerpen itu
melukiskan kehidupan di tepi kawah yang jauh dari masyarakat umum, tempat
sepasang suami-istri melarikan diri. Cerpen itu merupakan cerpen pelarian.
Lukisan alam gunung berapi dan kawah sangat indah dan teliti ditulis Bakri,
kemudian ‘Di Tepi Kawah’ di bukukan dengan Jejak
Langkah (1953). Cerpen-cerpen yang dimuat dalam buku itupun semuanya
melukiskan kesepian dan pelarian dari dunia ramai disertai dengan humor yang
berat dan tidak menarik.
Pada masa sesudah perang Bakri masih ada juga yang
menulis cerpen. Tetapi perannya sebagai pemimpin lembaga seni sastra Lekra
lebih banyak dicurahkan kepada penulisan karangan-karangan yang berupa kritik,
polemik, dan semacamnya. Ia menulis buku Sejarah
Sastra Indonesia Modern (1964) yang baru selesai satu jilid.[10]
F.
Perkembangan
Drama pada Zaman Jepang
Penulisan drama pada zaman Jepang ini boleh dikatakan
sangat subur. Hal ini mungkin disebabkan oleh kegiatan rombongan-rombongan
sandiwara yang berkumpul dalam Perserikatan Usaha Sandiwara Jawa yang dipimpin
oleh Armin Pane. Memang tidak semua lakon yang dimainkannya itu benar-benar
bernilai sebagai sastra, tetapi kegiatan semacam itu tidak boleh tidak
memberikan dorongan juga kepada pengarang untuk menulis lakon sandiwara.
Beberapa nama pengarang yang banyak membuat sandiwara
pada zaman Jepang ialah Armijn Pane, Usmar Ismail, Abu Hanifah (yang
mempergunakan nama samara El Hakim), Idrus, Inu Kertapati, Kotot Sukardi, dan
lain-lain. Amir Hamzah mmenulis beberapa sandiwara ejekan melecehkan para
seniman yang menjadi budak Jepang tentu saja tidak mungkin dimainkan pada masa
itu.
Armijn Pane yang pada masa sebelum perang menulis
“Lukisan Masa, Barang Tiada Berharga” dan lain-lain. Pada zaman Jepang ini
menulis beberapa buah sandiwara lagi. Semua sandiwara yang dituliskannya itu
kemudian dibukukan dengan judul Jinak-jinak
Merpati (1953). Di dalamnya selain
yang ditulis Armijn Pane pada masa sebelum perang dan masa Jepang ada juga yang
ditulis segera sesudah proklamasi kemerdekaan, berjudul “Antara Bumi dan Langit” yang mempermasalahkan kedudukan kaum indo
di alam Indonesia Merdeka.
Usmar Ismail yang namanya sudah kita sebut dalam
hubungan penulisan sajak dan cerpen, pada zaman Jepang ini menyadur Chichi
Kaeru karangan Kikuchi Kwan, seorang pengarang Jepang menjadi “Ayahku Pulang”.
Disamping itu ia pun menulis sandiwara kepahlawanan rakyat kepulauan Maluku
yang mengadakan perlawanan terhadap Belanda berjudul “Mutiara dan Nusa Laut”,
keduanya tidak pernah diterbitkan menjadi buku tetapi berkali-kali dimainkan
oleh penggemar menjadi sebuah film yang disutradarai sendiri, berjudul Dosa Tak Berampun (1950). Drama-drama
yang ditulis Usmar yang belum dibukukan ialah “Mekar Melati” dan “Tempat yang
Kosong”.
Abu Hanifah (El Hakim) lahir 1906 di Padang Panjang.
Pada zaman Jepang menulis beberapa drama yang kemudian dibubuhkan menjadi Taufan Di Atas Asia (19490. Ada empat
buah drama yang dibuat dalam buku ini, yaitu ‘Taufan Di Atas Asia’ dalam empat
bagian, ‘Intelek Istimewa’ dalam tiga bagian, ‘Dewi Reni’ dalam tiga babak dan
‘Insan Kamil’ dalam tiga babak. Pada masa sesudah merdeka, ia masih menulis dua
buah drama lagi yaitu ‘Rogaya’ dalam empat babak dan ‘Mambang Laut’ tiga babak.
Keduanya belum dibukukan.
Dalam drama-drama El Hakim terasa dasar-dasar agama
Islam dan kecenderungan memilih timur dalam pertarungan antara Timur dan Barat
yang dianggapnya sebagai pertentangan antara idealism dan materialism.
Selain menulis drama, ia juga menulis roman berjudul Dokter Rimbu (1952), tetapi kegiatan di
lapangan politik lebih banyak menarik minatnya. Ia pernah menjadi menteri serta
menerjemahkan sejumlah buku yang berhubungan dengan persoalan-persoalan
politik.
Idrus pada zaman Jepang menulis beberapa buah drama,
diantaranya “Kejahatan Membalas Dendam” yang kemudian dimuat dalam bukunya dari
Avemaria Ke Jalan Lain Ke Roma (1948), Jibaku Aceh (1945), Keluarga Surono
(1948), dan Doktor Bisma (1945). Dalam
‘Kejahatan Membalas Dendam’, ia melukiskan perjuangan pengarang muda,
meskipun si pengarang kolot hendak main guna-guna segala.
Kotot Sukardi menulis sandiwara ‘Bende Mataram’ yang
berlatar belakang masa perang Diponegoro (1825-1830). Sandiwara ini kemudian
diterbitkan oleh Balai Pustaka bersama-sama dengan sebuah sandiwara pula
karanga Inu Kertapati berjudul ‘Sumping Sareng Pati’ dengan judul ‘Bende
Mataram’ (1945). Juga sandiwara karangan Inu Kertapati mengambil latar
peristiwa sejarah yang lampau, tempat kejadiannya di Bali pada akhir abad yang
lalu ketika Belanda hendak menyerbu ke sana.[11]
BAB
III
PENUTUP
Simpulan
Kedatangan
Bangsa Jepang di Indonesia tidak begitu saja diterima oleh para pengarang di
Indonesia. Ada yang awalnya menerima tetapi ada juga yang tidak menerima
kedatangan Jepang. Macam-macam sikap pengarang ini sudah tercermin melalui
hasil karya masing-masing pengarang. Karya-karya sastra yang muncul pada zaman
Jepang yaitu drama, cerpen, puisi, film, sajak, dan sandiwara. Corak karya
sastranya adalah tersimpan dan tersiar. Sastra yang tersimpan cenderung
bersifat kritik dan sindiran, sedangkan karya sastra yang tersiar lebih
bersifat propaganda.
DAFTAR PUSTAKA
Ida Lestari dan Dwi Sulistyo Rini. 2012.
Pertumbuhan dan Pekembangan SastraIndonesia Modern. Malang: Misykat.
Rosidi, Ajip. 2013.Ikhtisar Sejarah
Sastra Indonesia. Bandung: PT. Dunia Pustaka Jaya.
Sarwadi. 2004. Sejarah Sastra
Indonesia Modern. Yogyakarta: GAMA MEDIA.
AjiSetyanto,FitrianaPuspitaDewi. BENTUK
PROPAGANDA JEPANG DI BIDANG SASTRA PADA MAJALAH DJAWA BAROESEMASA KEPENDUDUKAN
JEPANG DI INDONESIA 1942-1945.http://fib.ub.ac.id/wrp-con/uploads/Journal-Aurora-April2015-_Aji-Setyanto_.pdf.JIA,Vol.
2No. 1 April 2015: 47-59.
Diakses tanggal 06 Oktober 2017.
[1]Dwi Sulistyo Rini dan Ida
Lestari, Pertumbuhan dan Pekembangan Sastra Indonesia Modern, (Malang:
Misykat, 2012), hlm. 45-47
[2]Ajip Rosidi, Ikhtisar
Sejarah Sastra Indonesia, (Bandung: PT. Dunia Pustaka Jaya, 2013), hlm.
89-90
[3]FitrianaPuspitaDewi dan AjiSetyanto, BENTUK PROPAGANDA JEPANG DI BIDANG SASTRA PADA MAJALAH DJAWA BAROESEMASA
KEPENDUDUKAN JEPANG DI INDONESIA 1942-1945,http://fib.ub.ac.id/wrp-con/uploads/Journal-Aurora-April2015-_Aji-Setyanto_.pdf.JIA,Vol. 2No. 1 April 2015: 47-59.
[4]Sarwadi, Sejarah
Sastra Indonesia Modern, (Yogyakarta: GAMA MEDIA, 2004), hlm. 119
[5]Ibid., hlm. 122
[6]Sarwadi, Sejarah Sastra
Indonesia Modern, (Yogyakarta: GAMA MEDIA, 2004), hlm. 127
[7] Dwi Sulistyo Rini dan Ida Lestari, Pertumbuhan dan Pekembangan Sastra
Indonesia Modern, (Malang: Misykat, 2012), hlm. 47-48
[8] H.B Jassin, 2013, kesusastraan
di Indonesia di Masa Jepang, (Bandung: Pustaka Jaya) hal. 155-170
[9]Dwi Sulistyo Rini dan Ida
Lestari, Pertumbuhan dan Pekembangan Sastra Indonesia Modern, (Malang:
Misykat, 2012), hlm. 47-49
[10] Ajip Rosidi, Iktisar Sejarah
Sastra Indonesia, (Bandung: Edisi Pustaka Jaya, 2013)hal. 94-95
[11] Ibid,hal.95-98
No comments:
Post a Comment