Implementasi
Kesantunan dalam Drama
Kehidupan
Ditujukan Untuk Memenuhi Tugas Ujian Akhir
“PRAGMATIK”
Dosen Pengampu
Dian Etikasari, M.Pd.
Oleh
Kelompok 4
Rona Mesita (17210163013)
Krisnina Maharani (17210163016)
Afif Diana (17210163019)
Okta Winda L.
(17210163022)
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
TULUNGAGUNG
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
JURUSAN TADRIS BAHASA INDONESIA
2018
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
JURUSAN TADRIS BAHASA INDONESIA
2018
KATA PENGANTAR
Puji
syukur kami kehadirat Allah swt. atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya. Sholawat
serta salam semoga tetap terlimpahkan kepada junjungan kita Nabi Agung Muhammad
saw. yang telah membimbing kita dari zaman jahiliyah hingga zaman terang
benderang yakni agama Islam. Alhamdulillah kami dapat menyelesaikan makalah Pragmatik
ini dengan judul “Implementasi Kesantunan Dalam
Drama Kehidupan”.
Makalah
ini telah kami usahakan semaksimal mungkin dan tentunya dengan bantuan dari
berbagai pihak. Sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Sebab itu,
kami menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami
dalam pembuatan makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat untuk pengembangan
wawasan dan peningkatan ilmu pengetahuan bagi kita semua.
Tulungagung,
8 Desember 2018
Penulis
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PRINSIP
KESANTUNAN
Pengetahuan
tindak ujar sangat penting bagi pengajaran bahasakeberhasilah suatu percakapan
atau konversasi ditentukan oleh terlaksananya prinsip-prinsip kerjasama dan
kesantunan dengan memperhatikan maksim-maksim yang akan diuraikan berikut. [1]Kesopanan
atau yang selama ini berkaitan dengan tingkah laku sosial yang sopan, santun, atau
etiket, yang mana dapat ditemukan dalam budaya khusus.[2]Prinsip
ini mengacu pada enam jenim maksim yaitu
a.
Maksim
kebijaksanaan(cact maxim)
Adalah orang yang bertutur yang berpegang pada maksim kebijaksanaan
akan dapat dikatakan sebagai orang santun, karena dalam mereka bertutur ia akan
mengindari sifat iri dengki dan sifat yang lain yang kurang santun terhadap si
mitra tutur, demikian pula perasaan sakit akibat perlakuan yang tidak
menguntungkan dapat diminimalkan apabila kebijaksaan ini dapat dipegang teguh.
Contoh dari maksim kebijaksaan adalah sebagai berikut :
Tuan
rumah: “silahkan makan saja dulu, nak!
Tadi kami semua sudah
mendahului.”
Tamu :“wah saya jadi tidak enak, bu.”
Lazimnya
percakapan diatas dapat ditemukan dalam keluarga masyarakat tutur desa, yang
mana orang-orang desa sangat menghargai tamu. Bahkan, seringkali ditemukan
minuman atau makan yang disajikan kepada tamu diupayakan layak diterima dan
dinikmati. Orang dalam masayarakat tutur jawa mengatakan hal ini disebut dengan
istilah “dinak-nakke” yang maknanya adalah diada-adakan. Sekalipun didalam
rumah jatah untuk keluarganya sendiri tidak ada, namun masyarakat jawa sering
kali mengatakan didalam rumah masih tersedia hidangan lain dalam jumlah yang
banyak. Tuturan ini disampaikan dengan maksud agar sang tamu senang hati tanpa
ada perasaan tidak enak sedikitpun.
Merujuk pada pendapat lain dapat dikatakan
bahwa semakin semakin panjang tuturan seseorang semakin besar pula keinginan
orang tersebut untuk bersikap sopan pada lawan bicaranya.[3]
b. Maksim kedermawanan (Generosity
Maxim)
Dengan maksim kedermawanan para peserta pertuturan diharapkan dapat
menghormati orang lain. Ini akan terjadi apabila orang dapat mengurangi keuntungan
bagi dirinya sendiri dan memperhatikan keuntungan orang lain. Contoh dari
maksim kedermawanan adalah sebagai berikut :
Siroj : “mari saya cucikan baju kotormu bas, pakaianku tidak banyak
kok yang kotor, sekalian baju kotormu”
Bastian : “tidak usah, mas. Nanti siang saya mau mencuci kok.”
Dari tuturan
yang disampaikan Siroj diatas dapat dilihat dengan jelas bahwa ia berusaha
memaksimalkan keuntungan pihak lain dengan cara menambahkan beban bagi dirinya
sendiri. Gotong royong dan kerja sama dapat dianggap sebagai realisasi maksim
kedermawanan dalam hidup bermasyarakat. Orang yang tidak suka membantu orang
lain, apalagi tidak pernah berkerja sama orang lain dapat dikatakan tidak sopan
dan biasanya tidak akan mendapatkan banyak teman dalam pergaulan keseharian
hidupnya.
c.
Maksim penghargaan(Approbation Maxim)
Didalam maksim penghargaan dijelaskan bahwa orang akan dianggap
santun bila dalam bertutur mereka berusaha memberikan penghargaan pada pihak
lain. Dengan maksim ini, diharapkan agar para peserta pertuturan tidak saling
mengejek, mencaci atau saling merendahkan orang lain. Tindankan mengejek
merupakan tindakan merupakan tindakan yang tidak menghargai orang lain, dan
harus dihindari dalam pergaulan yang sesungguhnya. Contoh dari maksim penghargaan
adalah sebagai berikut :
Rido : “siroj, tadi aku memulai kuliah apresiasi puisi dikelas A “
Siroj : “oiya, tadi bastian cerita padaku bahwa puisimu sangat
ekspresif” Dengan demikian dapat
dikatakan pemberitahuan Rido ditanggapi dengan sangat baik bahkan disertai
pujian atau penghargaan olegh Siroj. Hal ini beda dengan percakapan atau
tuturan berikut.
Mahasiswi : “
maaf aku pinjem PR kamu, aku tidak bisa mengerjakan tugas itu sendiri.”
Mahasiswa : “ Tolol,...ini, cepat kembalikan.”
d.
Maksim
kesederhaan (modesty maxim)
Didalam maksim kesederhanaan atau maksim rendah hati peserta tutur
diharapkan dapat bersikap rendah hati dengan cara mengurangi pujian terhadap
dirinya sendiri. Orang akan dikatakan sombong dan congkak hati apabila dalam
kegiatan bertutur selalu memuji dan mengunggulkan dirinya sendiri. Contoh dari
maksim kesederhaan adalah sebagai berikut :
Sekertaris A : “ Dik, nanti rapatnya dibuka dengan doa dulu, ya!
Anda yang memimpin!”
Sekertaris B : “ Ya, mbak tapi saya jelek lho.”
e.
Maksim
permufakatan (agreement maxim)
Sering kali disebut dengan maxim kecocokan. Didalam maksim ini,
ditekankan agar para peserta tutur dapat saling membina kecocokan atau
kemufakatan atau kegiatan dalam bertutur. Apabila ada kecocokan diri penutur
dan mitra tutur masing-masing dari mereka akan dapat bersikap santun. Dalam
masyarakat tutur jawa, orang tidak diperbolehkan memenggal atau bahkan
membantah secara langsung apa yang telah dituturkan pihak lain. Pada zaman
kerajaan pulau jawa terdahulu, wanita tidak tidak diperkenankan menentrang
suartu yang dikatakan dan diperintahkan sang pria. Namun kalau kita mencermati
orang yang berutur pada zaman sekarang ini, sering kali si mitra tutur
menggunakan anggukan tanda setuju, acungan jempol tanda setuju, wajah tanpa
kerutan didahi tanda setuju, dan beberapa hal lain yang menyatakan maksud
tertentu.
f.
Maksim
kesimpatisan (syimpath maxim)
Didalam maxim kesimpatisan, diharapkan agar para peserta tutur
dalam memaksimalkan sikap simpati antara pihak satu dan pihak lainya.
Masyarakat tutur indonesia sangat menjunjung tinggi rasa kesimpatisan terhadap
orang lain dalam komunikas keseharianya. Orang yang bersikap anti pati apalagi
sampai bersikap sinis terhadap orang lain, akan dianggap tidak punya sopan
santun didalam masyarakat.
Ani
: Tut, nenekku meninggal.”
Tuti
: innalillahi wainnailairojiun, turut berduka cita.”[4]
B.
PRINSIP
KESANTUNAN MENURUT SKALA PARA AHLI
Ada tiga macam skala pengukur peringkat
kesantunan sebagai dasar acuan dalam penelitian kesantunan. Ketiga macam skala
itu adalah skala kesantunan menurut Leech, skala kesantunan menurut Brown and
Lavinson, dan skala kesantunan menurut Robin Lakoff.
1.
Skala
Kesantunan Leech (1983)
Setiap
maksim interpersonal itu dapat dimanfaatkan untuk menentukan peringkat
kesantunan sebuah tuturan. Berikut skla kesantunan yang disampaikan Leech
1) Cost-Benefit
scale atau skala kerugian dan keuntungan
Menunjuk
pada besar kecilnya kerugian dan keuntungan yang diakibatkan oleh sebuah tindak
tutur pada sebuah pertuturan. Semakin semakin tersebut merugikan diri penutur
akan semakin dianggap santunlah tuturan itu, demikian juga sebaliknya.
2) Optionality
scale atau skala pilihan menunjuk kepada
banyak atau sedikitnya pilihan (options) yang disampaikan si penutur kepada si
mitra tutur di dalam kegiatan bertutur. Semakin pertuturan itu memungkinkan
penutur atau mitra tutur menentukan pilihan yang banyak dan leluasa, akan
dianggap semakin santunlah tuturan itu dan sebaliknya.
3) Inderctness
scale atau skala ketidaklangsungan merujuk
kepada peringkat langsung atau tidak langsungnya sebuah tuturan. Semakin
tuturan itu bersifat langsung akan dianggap semakin tidak santun. Maka dari itu
biasanya kita perlu basa-basi dalam bermitra tutur agar menjaga perasaan orang
lain.
4) Authority scale
atau skala keotoritasan merujuik pada hubungan status sosial antara
penutur dan mitratutur yang terlibat dalam pertuturan status sosial. Semakin
jauh jarak peringkat sosial antara penutur dengan mitra tutur, tuturan yang
digunakan akan cenderung menjadi semakin santun dan sebaliknya.
2.
Skala
Kesantunan Brown and Lavinson (1987)
Terdapat tiga skala penentu tinggi rendahnya peringkat kesantunan
sebuah tuturan. Skala peringkat jarak sosial
antara penutur dan mitra tutur banyak ditentukan oleh parameter
perbedaan umur, jenis kelamin, dan latar belakang sosio kultural. Berkenaan
dengan perbedaan umur antara penutur dan mitra tutur lazimnya didapatkan bahwa
semakin tua umur seseorang peringkat kesantunan dalam bertuturnya akan semakin
menjadi tinggi, atau sebaliknya. Seorang wanita lazimnya memiliki peringkat
kesantunan lebih tinggi dibanding pria. Hal demikian disebabkan oleh kenyataan
bahwa kaum wanita cenderung lebih banyak berkenaan dengan sesuatu yang bernilai
estetika dalam kehidupan sehari-hari, dan sebaliknya. Orang yang memiliki
jabatan tertentu dalam masyarakat cenderung memiliki tingkat kesantunan lebih
tinggi dibandingkan yang lainya, seperti misalnya petani, pedagang, dan
lain-lain. Demikian pula orang-orang kota yang memiliki jabatan cenderung
memiliki peringkat kesantunan lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat desa
yang tidak mempunyai jabatan penting.
a.
Skala peringkat
status sosial antara penutur dan mitra tutur atau seringkali disebut dengan
peringkat kekuasaan didasarkan pada kedudukan asimetrik antara penutur dan mitra tutur. Sebagai contoh dapat disampaikan bahwa didalam
ruang periksa sebuah rumah sakit, seorang dokter memiliki peringkat kekuasaan
lebih tinggi dibandingkan dengan seorang pasien.
b.
Skala peringkat tindak tutur atau sering disebut
dengan rank ratting didasarkan
atas kedudukan relatif tindak tutur yang satu dengan tindak tutur lainya.
Sebagai contoh, dalam situasi yang sangat khusus jika laki-laki bertamu dirumah
seorang wanita dengan melewati batas waktu bertamu yang wajar akan dikatakan
sebagai tindakan tidak sopan santun dan bahkan melanggar norma kesantunan yang
ada di masyarakat tutur tersebut. Namun berbeda jika keadaan tertentu misalkan
ada suatu bencana yang diharuskan seseorang tersebut mengungsi atau berada dirumah orang lainbahkan sampai
waktu yang tidak dapat ditentukan. [5]
3.
Skala Kesantunan Robin Lakoff (1973)
Menyatakan tiga ketentuan untuk dapat dipenuhinya
kesantunan dalam kegiatan bertutur. Berikut adalah uraian mengenai skala
kesantunan itu satu demi satu.
1)
Didalam skala kesantunan pertama, yaitu skala
formalitas (formality scale), dinyatakan bahwa agar para peserta tutur
dapat merasa nyaman dan kerasan dalam kegiatan bertutur dan tanpa ada rasa memaksa dan tanpa angkuh.
Harus menjaga jarak senaturalnya dan menjaga keformalitasan antara satu dengan
yang lain.
2)
Skala yang kedua yaitu skala ketidak tegasan. Atau
seringkali disebut skala pilihan, menunjukkan bahwa penutur dan mitra tutur
dapat saling merasa nyaman dan kerasan dalam
bertutur. Orang tidak diperbolehkan bersikap terlalu tegang atau terlalu
kaku dalam kegiatan bertutur karena dianggap tidak santun.
3)
Skala kesantunan ketiga, yaitu peringkat kesekawanan
atau kesamaan. Menunjukkan agar dapat bersikap santun, orang haruslah bersikap
ramah dan selalu mempertahankan persahabatan antara pihak satu dengan pihak
lainya. Penutur harus dapat menanggapi mitranya dengan sebagai sahabat, dengan
demikian rasa kesekawanan dapat tercapai.
[6]
C.
TRANSKRIP
PERCAKAPAN
a.
Maksim
Kebijaksanaan
Malika : Assalamualaikum.
Mesita : Waaikumsalam,
rene-rene mlebua (sedang makan)
Waalaikumsalam, sini sini
silakan masuk.
Malika : Wis
gapapa aku tak ning njaba wae, ngenteni ning kene.
(Sudah gapapa aku tunggu di
luar saja, nunggu di sini)
Mesita : Kene
lo maem pisan karo aku.
Sini lo, makan sekalian sama
aku.
Malika : Endak
aku wis maem kok.
Tidak, aku sudah makan kok
Mesita : Halah
wis ta, iki lo mumpung sek enek lawuhe, segane ya akeh.
Sudahlah sini, mumpung masih
ada lauk, nasinya juga banyak.
Malika : Tenan,
aku wis maem.
Beneran, aku sudah makan.
Mesita :(Menarik
Malika ke kamar, mengampil piring dan mengambilkan makanan)
Malika : Ya
Allah, la iki lo segamu entek. Tenan aku ki wis maem lo.
(Ya Allah, ini nasimu habis
lo. Beneran aku itu sudah makan)
Mesita : Loh
gapapa, engko masak eneh.
(loh, gapapa, nanti masak
lagi)
b.
Maksim
Kedermawanan
Yayuk : Aku arepe metu
ngeprint, titip gak?
(Aku mau keluar, ngeprint.
Titip gak?)
Septi : Lah gak usah, aku
bariki yo arepe metu tumbas maem.
(Lah, gak perlu, setelah ini
aku juga keluar, beli makan)
Yayuk :Loh
gak popo titip aku pisan ngeprint karo maem-e. maem-e opo?
(loh, gapapa nitip aku
sekalian, ngeprint sama makannya. Makannya apa?)
Septi : Lah-lah
gak usah tak tuku dewe.
(Lah-lah tidak perlu, aku beli
sendiri saja)
Yayuk : Loh,
tenanan aku ki, mumpung aku metu.
(Loh, aku tuh beneran, mumpung
aku keluar)
Septi : Gapapa
ta? Engko ngrepotne awakmu?
(beneran gapapa? Nanti
merepotkanmu?)
Yayuk :Endak,
ndak ngrepotne.
(tidak, tidak merepotkan)
c.
Maksim
Penghargaan
Husna : Mbak, saman mbiyen apresiasi
puisi kebagian apa?
(Mbak, kamu dulu apresiasi kebagian apa?)
Manggi : Emange
nyapa?
(ada apa?)
Husna : Aku lo mbak,
apresiasi puisi kebagian dramatisasi puisi.
(Aku mbak,
apresiasi puisi kebagian dramatisasi puisi.
Manggi : woo…
berarti podo koyo aku mbiyen
(Ohh.. berarti
sama seperti aku dulu?
Husna : Hooh
to mbak? Saman nduwe videone pas tampil gak? Aku ndilok ndang.
(Iya to mbak? Kamu punya
videonya waktu tampil tidak? Aku lihat dong)
Manggi : Enek-enek,
iki lo (sambil membuka laptop)
(Ada-ada, ini lo (sembari
membuka laptop)
Husna :(Melihat)
Beh, mbak kok apik to? Nggonku kok gak ngono.
(Melihat) Duhh, mbak kok
bagus ya? Punyaku kok tidak seperti itu.
Manggi : Halah,
kan nggonmu sek latian ta. Sek enek waktu ngge benahi. Yawes jajal sesok
latiano ning kos, tak dilok-e
(Halah, kan punyaku masih
latihan. Masih ada waktu untuk memperbaiki. Ya sudah coba besok kamu latihan di
kos, saya lihat)
(Keesokan
harinya)
Husna : Mbak
Mang, iki aku arepe latian. Saman dilok dikut ae.
Manggi : Iyo
tak dilok-e karo tak veideone jajal
(Latian)
Manggi : lah
apik no, ketok kompak.
Husna : Mosok
ta mbak?
d.
Maksim
Kesederhanaan
Diana
: Mbak Ut, nanti mimpino doa khotmil kelas ya?
(Mbak Ut, nanti tolong memimpin doa khotmil kelas ya?)
Uut
: Peh, ojo aku lo. Isin aku, engko aku ndredeg suaraku elek.
(Peh, jangan saya. Malu saya, nanti saya
deg-degan, suara saya jelek.)
Diana
: Enggak-enggak mbak, suarane sampean apik gak usah isin karo konco sak
kelas.
(Enggak kok mbak, suaranya Mbak bagus, tidak usah malu
sama teman sekelas.)
Uut
: Yowes, Insyaallah.
(Ya sudah, Insyaallah.)
e.
Maksim
Kemufakatan
Mesita
: Teman-teman, mata kuliah metode pembelajaran menulis diganti pukul 08.40.
Bagaimana? Apakah teman-teman setuju?
(teman-teman, mata kuliah Metode Pembelajaran Menulis
diganti pukul 08.40. bagaimana? Apakah teman-teman setuju?)
Lestari
: ojo to, aku TOAP lo jam kuwi.
(jangan lah, aku TOAP lo jam itu.)
Rani
: Aku yo enek ujian TOEP lo kui pasan, jam e panggah ae lo.
(aku ada ujian TOEP juga saat itu, jamnya tetap
sajalah)
Diana
: hooh, mesakne Issah
yoan. Dee malih ngijoli ning kelas liyo.
(iya, kasihan Issah juga. Dia jadi mengganti jam di
kelas lain.)
Mesita
: jadi ini kesepakatannya bagaimana teman-teman?
(jadi ini kesepakatannya bagaimana teman-teman?)
Maharani
: yasudah, melihat banyak yang tidak bisa di jam 08.40. kita kembali ke jam
semula saja, pukul 13.00. Bagaimana?
(Ya sudah,melihat
banyak yang tidak bisa di jam 08.40. kita kembali ke jam semula saja, pukul
13.00. Bagaimana?)
Lestari
: setuju.
(setuju)
Rani
: setuju.......
(setuju)
Dari percakapan di atas, dapat dilihat bahwasannya dalam maksim
kemufakatan terdapat kecocokan antara penutur dan mitra tutur. Sehingga,
menimbulkan kesantunan dalam memutuskan sebuah permasalahan.
f.
Maksim Kesimpatisan
Ina
: Cah, minta waktunya sebentar. Assalamu’alaikum W. W. Ini tadi saya
mendapat kabar dari Pak Mustofa bahwasannya beliau tidak bisa masuk kelas lagi
karena masih sakit.
(teman-teman, minta waktunya sebentar.
Assalamu’alaikum W.W. ini tadi saya mendapat kabar dari Pak Mustofa, bahwasanya
beliau tidak bisa masuk kelas lagi karena masih sakit)
Lestari
: Innalillahi wainna ilaihi roji’un..
(Innalihi wainna ilaihi roji’un)
Demas
: yoh cah disambangi po piye? Wes 3x pertemuan gak masuk lo. Jane
beliau sakit opo lo?
(ayo teman-teman, kita jenguk bagaimana? Sudah tiga
kali pertemuan tidak hadir. Sebenarnya beliau sakit apa?)
Ina
: jare cah kelas sebelah sakit lambung.
(katanya anak kelas sebelah, sakit lambung. )
Mesita
: Ya Allah. Yo wes ayoh cah awakdewe nyambangi
sesok yo?
(Ya Allah. Ya sudah ayo teman-teman kita menjenguk
besok ya?)
Diana,
Ina, Lestari, Demas : Ok, siap.
(oke siap.)
Dari percakapan di atas, pada maksim kesimpatisan terlihat bahwa
mitra tutur sangat simpati terhadap kabar yang disampaikan oleh si penutur
mengenai Pak Mustofa sedang sakit. Sehingga, tidak bisa mengajar. Dengan rasa
simpati mitra tutur mengucapkan Innalillahi.
BAB III
SIMPULAN
Kesopanan
atau yang selama ini berkaitan dengan tingkah laku sosial yang sopan, santun, atau
etiket, yang mana dapat ditemukan dalam
budaya khusus. Banyak sekali maksim dan cara-cara agar seseorang dapat berdialog
ataupun berkomunikasi dengan santun. Prinsip-prinsip kesopanan yang telah
diuraikan oleh penulis diharapkan dapat bermanfaat. Setelah mengetahui
prinsip-prinsip tersebut kita akan tahu cara menghadapi mitra tutur dengan
sopan dan santun. Selanjutnya beberapa ahli barat juga memiliki pandangan
tersedir tentang hal kesopansantunan ini dengan berbagai skala pengukur
diantaranya adalah tiga macam
skala pengukur peringkat kesantunan sebagai dasar acuan dalam penelitian
kesantunan. Ketiga macam skala itu adalah skala kesantunan menurut Leech, skala
kesantunan menurut Brown and Lavinson, dan skala kesantunan menurut Robin
Lakoff.
DAFTAR PUSTAKA
Putu, Dewa.
1996. Dasar-dasar Pragmatik.
Yogyakarta. Pustaka Pelajar
Rahardi,
Kunjana. 2005. Pragmatik Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia. Jakarta.
Penerbit Erlangga
Tarigan,
Henri Guntur. 2014. Pengajaran Pragmatik. Bandung. Aksara Bandung
Yuli, George. 2014. Pragmatik. Yogyakarta.
Pustaka Pelajar
[2]George Yuli, Pragmatik.(Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2014), hlm. 104
[4]Kunjana Rahardi. Pragmatik Kesatuan Imperatif
Bahasa Indonesia. (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2005) hlm. 59-61
[5]Ibid hlm 69
[6]Ibid hlm 70
No comments:
Post a Comment