Friday, August 2, 2019

Pragmatik - Implementasi Kesantunan


Implementasi Kesantunan dalam Drama Kehidupan
Ditujukan Untuk Memenuhi Tugas Ujian Akhir
“PRAGMATIK”
Dosen Pengampu
Dian Etikasari, M.Pd.









Oleh
Kelompok 4
Rona Mesita             (17210163013)
Krisnina Maharani   (17210163016)
Afif Diana                (17210163019)
Okta Winda L.         (17210163022)


INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI TULUNGAGUNG
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
JURUSAN TADRIS BAHASA INDONESIA
2018

KATA PENGANTAR
Puji syukur kami kehadirat Allah swt. atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya. Sholawat serta salam semoga tetap terlimpahkan kepada junjungan kita Nabi Agung Muhammad saw. yang telah membimbing kita dari zaman jahiliyah hingga zaman terang benderang yakni agama Islam. Alhamdulillah kami dapat menyelesaikan makalah Pragmatik ini dengan judul “Implementasi Kesantunan Dalam  Drama Kehidupan”.
Makalah ini telah kami usahakan semaksimal mungkin dan tentunya dengan bantuan dari berbagai pihak. Sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Sebab itu, kami menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam pembuatan makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat untuk pengembangan wawasan dan peningkatan ilmu pengetahuan bagi kita semua.



Tulungagung, 8 Desember 2018

Penulis




BAB II
PEMBAHASAN
A.    PRINSIP KESANTUNAN
Pengetahuan tindak ujar sangat penting bagi pengajaran bahasakeberhasilah suatu percakapan atau konversasi ditentukan oleh terlaksananya prinsip-prinsip kerjasama dan kesantunan dengan memperhatikan maksim-maksim yang akan diuraikan berikut. [1]Kesopanan atau yang selama ini berkaitan dengan tingkah laku sosial yang sopan, santun, atau etiket, yang mana dapat ditemukan dalam budaya khusus.[2]Prinsip ini mengacu pada enam jenim maksim yaitu
a.      Maksim kebijaksanaan(cact maxim)
Adalah orang yang bertutur yang berpegang pada maksim kebijaksanaan akan dapat dikatakan sebagai orang santun, karena dalam mereka bertutur ia akan mengindari sifat iri dengki dan sifat yang lain yang kurang santun terhadap si mitra tutur, demikian pula perasaan sakit akibat perlakuan yang tidak menguntungkan dapat diminimalkan apabila kebijaksaan ini dapat dipegang teguh. Contoh dari maksim kebijaksaan adalah sebagai berikut :
Tuan rumah: “silahkan makan saja dulu, nak!
                        Tadi kami semua sudah mendahului.”
Tamu   :“wah saya jadi tidak enak, bu.”
Lazimnya percakapan diatas dapat ditemukan dalam keluarga masyarakat tutur desa, yang mana orang-orang desa sangat menghargai tamu. Bahkan, seringkali ditemukan minuman atau makan yang disajikan kepada tamu diupayakan layak diterima dan dinikmati. Orang dalam masayarakat tutur jawa mengatakan hal ini disebut dengan istilah “dinak-nakke” yang maknanya adalah diada-adakan. Sekalipun didalam rumah jatah untuk keluarganya sendiri tidak ada, namun masyarakat jawa sering kali mengatakan didalam rumah masih tersedia hidangan lain dalam jumlah yang banyak. Tuturan ini disampaikan dengan maksud agar sang tamu senang hati tanpa ada perasaan tidak enak sedikitpun.
     Merujuk pada pendapat lain dapat dikatakan bahwa semakin semakin panjang tuturan seseorang semakin besar pula keinginan orang tersebut untuk bersikap sopan pada lawan bicaranya.[3]
b.      Maksim kedermawanan (Generosity Maxim)
Dengan maksim kedermawanan para peserta pertuturan diharapkan dapat menghormati orang lain. Ini akan terjadi apabila orang dapat mengurangi keuntungan bagi dirinya sendiri dan memperhatikan keuntungan orang lain. Contoh dari maksim kedermawanan adalah sebagai berikut :
Siroj : “mari saya cucikan baju kotormu bas, pakaianku tidak banyak kok yang kotor, sekalian baju kotormu”
Bastian : “tidak usah, mas. Nanti siang saya mau mencuci kok.”
Dari tuturan yang disampaikan Siroj diatas dapat dilihat dengan jelas bahwa ia berusaha memaksimalkan keuntungan pihak lain dengan cara menambahkan beban bagi dirinya sendiri. Gotong royong dan kerja sama dapat dianggap sebagai realisasi maksim kedermawanan dalam hidup bermasyarakat. Orang yang tidak suka membantu orang lain, apalagi tidak pernah berkerja sama orang lain dapat dikatakan tidak sopan dan biasanya tidak akan mendapatkan banyak teman dalam pergaulan keseharian hidupnya.
c.       Maksim penghargaan(Approbation Maxim)
Didalam maksim penghargaan dijelaskan bahwa orang akan dianggap santun bila dalam bertutur mereka berusaha memberikan penghargaan pada pihak lain. Dengan maksim ini, diharapkan agar para peserta pertuturan tidak saling mengejek, mencaci atau saling merendahkan orang lain. Tindankan mengejek merupakan tindakan merupakan tindakan yang tidak menghargai orang lain, dan harus dihindari dalam pergaulan yang sesungguhnya. Contoh dari maksim penghargaan adalah sebagai berikut :
Rido : “siroj, tadi aku memulai kuliah apresiasi puisi dikelas A “
Siroj : “oiya, tadi bastian cerita padaku bahwa puisimu sangat ekspresif”   Dengan demikian dapat dikatakan pemberitahuan Rido ditanggapi dengan sangat baik bahkan disertai pujian atau penghargaan olegh Siroj. Hal ini beda dengan percakapan atau tuturan berikut.
Mahasiswi : “ maaf aku pinjem PR kamu, aku tidak bisa mengerjakan tugas itu sendiri.”
Mahasiswa : “ Tolol,...ini, cepat kembalikan.”
d.      Maksim kesederhaan (modesty maxim)
Didalam maksim kesederhanaan atau maksim rendah hati peserta tutur diharapkan dapat bersikap rendah hati dengan cara mengurangi pujian terhadap dirinya sendiri. Orang akan dikatakan sombong dan congkak hati apabila dalam kegiatan bertutur selalu memuji dan mengunggulkan dirinya sendiri. Contoh dari maksim kesederhaan adalah sebagai berikut :
Sekertaris A : “ Dik, nanti rapatnya dibuka dengan doa dulu, ya!
Anda yang memimpin!”
Sekertaris B : “ Ya, mbak tapi saya jelek lho.”
e.       Maksim permufakatan (agreement maxim)
Sering kali disebut dengan maxim kecocokan. Didalam maksim ini, ditekankan agar para peserta tutur dapat saling membina kecocokan atau kemufakatan atau kegiatan dalam bertutur. Apabila ada kecocokan diri penutur dan mitra tutur masing-masing dari mereka akan dapat bersikap santun. Dalam masyarakat tutur jawa, orang tidak diperbolehkan memenggal atau bahkan membantah secara langsung apa yang telah dituturkan pihak lain. Pada zaman kerajaan pulau jawa terdahulu, wanita tidak tidak diperkenankan menentrang suartu yang dikatakan dan diperintahkan sang pria. Namun kalau kita mencermati orang yang berutur pada zaman sekarang ini, sering kali si mitra tutur menggunakan anggukan tanda setuju, acungan jempol tanda setuju, wajah tanpa kerutan didahi tanda setuju, dan beberapa hal lain yang menyatakan maksud tertentu.
f.       Maksim kesimpatisan (syimpath maxim)
Didalam maxim kesimpatisan, diharapkan agar para peserta tutur dalam memaksimalkan sikap simpati antara pihak satu dan pihak lainya. Masyarakat tutur indonesia sangat menjunjung tinggi rasa kesimpatisan terhadap orang lain dalam komunikas keseharianya. Orang yang bersikap anti pati apalagi sampai bersikap sinis terhadap orang lain, akan dianggap tidak punya sopan santun didalam masyarakat.
Ani : Tut, nenekku meninggal.”
Tuti : innalillahi wainnailairojiun, turut berduka cita.”[4]

B.     PRINSIP KESANTUNAN MENURUT SKALA PARA AHLI
 Ada tiga macam skala pengukur peringkat kesantunan sebagai dasar acuan dalam penelitian kesantunan. Ketiga macam skala itu adalah skala kesantunan menurut Leech, skala kesantunan menurut Brown and Lavinson, dan skala kesantunan menurut Robin Lakoff.
1.      Skala Kesantunan Leech (1983)
Setiap maksim interpersonal itu dapat dimanfaatkan untuk menentukan peringkat kesantunan sebuah tuturan. Berikut skla kesantunan yang disampaikan Leech
1)      Cost-Benefit scale atau skala kerugian dan keuntungan
Menunjuk pada besar kecilnya kerugian dan keuntungan yang diakibatkan oleh sebuah tindak tutur pada sebuah pertuturan. Semakin semakin tersebut merugikan diri penutur akan semakin dianggap santunlah tuturan itu, demikian juga sebaliknya.
2)      Optionality scale atau skala pilihan menunjuk kepada banyak atau sedikitnya pilihan (options) yang disampaikan si penutur kepada si mitra tutur di dalam kegiatan bertutur. Semakin pertuturan itu memungkinkan penutur atau mitra tutur menentukan pilihan yang banyak dan leluasa, akan dianggap semakin santunlah tuturan itu dan sebaliknya.
3)      Inderctness scale atau skala ketidaklangsungan merujuk kepada peringkat langsung atau tidak langsungnya sebuah tuturan. Semakin tuturan itu bersifat langsung akan dianggap semakin tidak santun. Maka dari itu biasanya kita perlu basa-basi dalam bermitra tutur agar menjaga perasaan orang lain.
4)      Authority scale atau skala keotoritasan merujuik pada hubungan status sosial antara penutur dan mitratutur yang terlibat dalam pertuturan status sosial. Semakin jauh jarak peringkat sosial antara penutur dengan mitra tutur, tuturan yang digunakan akan cenderung menjadi semakin santun dan sebaliknya.

2.      Skala Kesantunan Brown and Lavinson (1987)
Terdapat tiga skala penentu tinggi rendahnya peringkat kesantunan sebuah tuturan. Skala peringkat jarak sosial  antara penutur dan mitra tutur banyak ditentukan oleh parameter perbedaan umur, jenis kelamin, dan latar belakang sosio kultural. Berkenaan dengan perbedaan umur antara penutur dan mitra tutur lazimnya didapatkan bahwa semakin tua umur seseorang peringkat kesantunan dalam bertuturnya akan semakin menjadi tinggi, atau sebaliknya. Seorang wanita lazimnya memiliki peringkat kesantunan lebih tinggi dibanding pria. Hal demikian disebabkan oleh kenyataan bahwa kaum wanita cenderung lebih banyak berkenaan dengan sesuatu yang bernilai estetika dalam kehidupan sehari-hari, dan sebaliknya. Orang yang memiliki jabatan tertentu dalam masyarakat cenderung memiliki tingkat kesantunan lebih tinggi dibandingkan yang lainya, seperti misalnya petani, pedagang, dan lain-lain. Demikian pula orang-orang kota yang memiliki jabatan cenderung memiliki peringkat kesantunan lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat desa yang tidak mempunyai jabatan penting.
a.       Skala peringkat status sosial antara penutur dan mitra tutur atau seringkali disebut dengan peringkat kekuasaan didasarkan pada kedudukan asimetrik antara penutur dan mitra tutur. Sebagai contoh dapat disampaikan bahwa didalam ruang periksa sebuah rumah sakit, seorang dokter memiliki peringkat kekuasaan lebih tinggi dibandingkan dengan seorang pasien.
b.      Skala peringkat tindak tutur atau sering disebut dengan rank ratting didasarkan atas kedudukan relatif tindak tutur yang satu dengan tindak tutur lainya. Sebagai contoh, dalam situasi yang sangat khusus jika laki-laki bertamu dirumah seorang wanita dengan melewati batas waktu bertamu yang wajar akan dikatakan sebagai tindakan tidak sopan santun dan bahkan melanggar norma kesantunan yang ada di masyarakat tutur tersebut. Namun berbeda jika keadaan tertentu misalkan ada suatu bencana yang diharuskan seseorang tersebut mengungsi  atau berada dirumah orang lainbahkan sampai waktu yang tidak dapat ditentukan. [5]
3.      Skala Kesantunan Robin Lakoff (1973)
Menyatakan tiga ketentuan untuk dapat dipenuhinya kesantunan dalam kegiatan bertutur. Berikut adalah uraian mengenai skala kesantunan itu satu demi satu.
1)      Didalam skala kesantunan pertama, yaitu skala formalitas (formality scale), dinyatakan bahwa agar para peserta tutur dapat merasa nyaman dan kerasan dalam kegiatan bertutur  dan tanpa ada rasa memaksa dan tanpa angkuh. Harus menjaga jarak senaturalnya dan menjaga keformalitasan antara satu dengan yang lain.
2)      Skala yang kedua yaitu skala ketidak tegasan. Atau seringkali disebut skala pilihan, menunjukkan bahwa penutur dan mitra tutur dapat saling merasa nyaman dan kerasan dalam  bertutur. Orang tidak diperbolehkan bersikap terlalu tegang atau terlalu kaku dalam kegiatan bertutur karena dianggap tidak santun.
3)      Skala kesantunan ketiga, yaitu peringkat kesekawanan atau kesamaan. Menunjukkan agar dapat bersikap santun, orang haruslah bersikap ramah dan selalu mempertahankan persahabatan antara pihak satu dengan pihak lainya. Penutur harus dapat menanggapi mitranya dengan sebagai sahabat, dengan demikian rasa kesekawanan dapat tercapai.  [6]
C.    TRANSKRIP PERCAKAPAN
a.      Maksim Kebijaksanaan
Malika       : Assalamualaikum.
Mesita       : Waaikumsalam, rene-rene mlebua (sedang makan)
                    Waalaikumsalam, sini sini silakan masuk.
Malika         : Wis gapapa aku tak ning njaba wae, ngenteni ning kene.
                    (Sudah gapapa aku tunggu di luar saja, nunggu di sini)
Mesita       : Kene lo maem pisan karo aku.
                    Sini lo, makan sekalian sama aku.
Malika         : Endak aku wis maem kok.
                    Tidak, aku sudah makan kok
Mesita         : Halah wis ta, iki lo mumpung sek enek lawuhe, segane ya akeh.
                    Sudahlah sini, mumpung masih ada lauk, nasinya juga banyak.
Malika         : Tenan, aku wis maem.
                      Beneran, aku sudah makan.
Mesita         :(Menarik Malika ke kamar, mengampil piring dan mengambilkan makanan)
Malika         : Ya Allah, la iki lo segamu entek. Tenan aku ki wis maem lo.
                    (Ya Allah, ini nasimu habis lo. Beneran aku itu sudah makan)
Mesita         : Loh gapapa, engko masak eneh.
                    (loh, gapapa, nanti masak lagi)

b.      Maksim Kedermawanan
Yayuk       : Aku arepe metu ngeprint, titip gak?
                    (Aku mau keluar, ngeprint. Titip gak?)
Septi          : Lah gak usah, aku bariki yo arepe metu tumbas maem.
                    (Lah, gak perlu, setelah ini aku juga keluar, beli makan)
Yayuk       :Loh gak popo titip aku pisan ngeprint karo maem-e. maem-e opo?
                  (loh, gapapa nitip aku sekalian, ngeprint sama makannya. Makannya apa?)
Septi          : Lah-lah gak usah tak tuku dewe.
                  (Lah-lah tidak perlu, aku beli sendiri saja)
Yayuk       : Loh, tenanan aku ki, mumpung aku metu.
                  (Loh, aku tuh beneran, mumpung aku keluar)
Septi          : Gapapa ta? Engko ngrepotne awakmu?
                  (beneran gapapa? Nanti merepotkanmu?)
Yayuk       :Endak, ndak ngrepotne.
                  (tidak, tidak merepotkan)
c.       Maksim Penghargaan
Husna        : Mbak, saman mbiyen apresiasi puisi kebagian apa?
                  (Mbak, kamu dulu apresiasi kebagian apa?)
Manggi      : Emange nyapa?
                  (ada apa?)
Husna        : Aku lo mbak, apresiasi puisi kebagian dramatisasi puisi.
                  (Aku mbak, apresiasi puisi kebagian dramatisasi puisi.
Manggi      : woo… berarti podo koyo aku mbiyen
                  (Ohh.. berarti sama seperti aku dulu?
Husna        : Hooh to mbak? Saman nduwe videone pas tampil gak? Aku ndilok ndang.
                  (Iya to mbak? Kamu punya videonya waktu tampil tidak? Aku lihat dong)
Manggi      : Enek-enek, iki lo (sambil membuka laptop)
                  (Ada-ada, ini lo (sembari membuka laptop)
Husna        :(Melihat) Beh, mbak kok apik to? Nggonku kok gak ngono.
                  (Melihat) Duhh, mbak kok bagus ya? Punyaku kok tidak seperti itu.
Manggi      : Halah, kan nggonmu sek latian ta. Sek enek waktu ngge benahi. Yawes jajal sesok latiano ning kos, tak dilok-e
                  (Halah, kan punyaku masih latihan. Masih ada waktu untuk memperbaiki. Ya sudah coba besok kamu latihan di kos, saya lihat)

(Keesokan harinya)
Husna        : Mbak Mang, iki aku arepe latian. Saman dilok dikut ae.
Manggi      : Iyo tak dilok-e karo tak veideone jajal

(Latian)
Manggi      : lah apik no, ketok kompak.
Husna        : Mosok ta mbak?
d.      Maksim Kesederhanaan
Diana : Mbak Ut, nanti mimpino doa khotmil kelas ya?
(Mbak Ut, nanti tolong memimpin doa khotmil kelas ya?)
Uut : Peh, ojo aku lo. Isin aku, engko aku ndredeg suaraku elek.
(Peh, jangan saya. Malu saya, nanti saya deg-degan, suara saya jelek.)
Diana : Enggak-enggak mbak, suarane sampean apik gak usah isin karo konco sak kelas.
(Enggak kok mbak, suaranya Mbak bagus, tidak usah malu sama teman sekelas.)
Uut : Yowes, Insyaallah.
(Ya sudah, Insyaallah.)

e.       Maksim Kemufakatan
Mesita : Teman-teman, mata kuliah metode pembelajaran menulis diganti pukul 08.40. Bagaimana? Apakah teman-teman setuju?
(teman-teman, mata kuliah Metode Pembelajaran Menulis diganti pukul 08.40. bagaimana? Apakah teman-teman setuju?)
Lestari : ojo to, aku TOAP lo jam kuwi.
(jangan lah, aku TOAP lo jam itu.)
Rani : Aku yo enek ujian TOEP lo kui pasan, jam e panggah ae lo.
(aku ada ujian TOEP juga saat itu, jamnya tetap sajalah)
Diana : hooh, mesakne Issah yoan. Dee malih ngijoli ning kelas liyo.
(iya, kasihan Issah juga. Dia jadi mengganti jam di kelas lain.)
Mesita : jadi ini kesepakatannya bagaimana teman-teman?
(jadi ini kesepakatannya bagaimana teman-teman?)
Maharani : yasudah, melihat banyak yang tidak bisa di jam 08.40. kita kembali ke jam semula saja, pukul 13.00. Bagaimana?
(Ya sudah,melihat banyak yang tidak bisa di jam 08.40. kita kembali ke jam semula saja, pukul 13.00. Bagaimana?)
Lestari : setuju.
(setuju)
Rani : setuju.......
(setuju)
Dari percakapan di atas, dapat dilihat bahwasannya dalam maksim kemufakatan terdapat kecocokan antara penutur dan mitra tutur. Sehingga, menimbulkan kesantunan dalam memutuskan sebuah permasalahan.

f.       Maksim Kesimpatisan
Ina : Cah, minta waktunya sebentar. Assalamu’alaikum W. W. Ini tadi saya mendapat kabar dari Pak Mustofa bahwasannya beliau tidak bisa masuk kelas lagi karena masih sakit.
(teman-teman, minta waktunya sebentar. Assalamu’alaikum W.W. ini tadi saya mendapat kabar dari Pak Mustofa, bahwasanya beliau tidak bisa masuk kelas lagi karena masih sakit)
Lestari : Innalillahi wainna ilaihi roji’un..
(Innalihi wainna ilaihi roji’un)
Demas : yoh cah disambangi po piye? Wes 3x pertemuan gak masuk lo. Jane beliau sakit opo lo?
(ayo teman-teman, kita jenguk bagaimana? Sudah tiga kali pertemuan tidak hadir. Sebenarnya beliau sakit apa?)
Ina : jare cah kelas sebelah sakit lambung.
(katanya anak kelas sebelah, sakit lambung. )
Mesita : Ya Allah. Yo wes ayoh cah awakdewe nyambangi sesok yo?
(Ya Allah. Ya sudah ayo teman-teman kita menjenguk besok ya?)
Diana, Ina, Lestari, Demas : Ok, siap.
(oke siap.)
Dari percakapan di atas, pada maksim kesimpatisan terlihat bahwa mitra tutur sangat simpati terhadap kabar yang disampaikan oleh si penutur mengenai Pak Mustofa sedang sakit. Sehingga, tidak bisa mengajar. Dengan rasa simpati mitra tutur mengucapkan Innalillahi.

BAB III
SIMPULAN

Kesopanan atau yang selama ini berkaitan dengan tingkah laku sosial yang sopan, santun, atau etiket, yang mana dapat ditemukan dalam budaya khusus. Banyak sekali maksim dan cara-cara agar seseorang dapat berdialog ataupun berkomunikasi dengan santun. Prinsip-prinsip kesopanan yang telah diuraikan oleh penulis diharapkan dapat bermanfaat. Setelah mengetahui prinsip-prinsip tersebut kita akan tahu cara menghadapi mitra tutur dengan sopan dan santun. Selanjutnya beberapa ahli barat juga memiliki pandangan tersedir tentang hal kesopansantunan ini dengan berbagai skala pengukur diantaranya adalah tiga macam skala pengukur peringkat kesantunan sebagai dasar acuan dalam penelitian kesantunan. Ketiga macam skala itu adalah skala kesantunan menurut Leech, skala kesantunan menurut Brown and Lavinson, dan skala kesantunan menurut Robin Lakoff.

DAFTAR PUSTAKA

Putu, Dewa. 1996.  Dasar-dasar Pragmatik. Yogyakarta. Pustaka Pelajar
Rahardi, Kunjana. 2005. Pragmatik Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia. Jakarta. Penerbit Erlangga
Tarigan, Henri Guntur. 2014. Pengajaran Pragmatik. Bandung. Aksara Bandung
Yuli, George. 2014. Pragmatik. Yogyakarta. Pustaka Pelajar



[1]Henri Guntur Tarigan. Pengajaran Pragmatik. (Bandung: Aksara Bandung. 2014),hlm 36
[2]George Yuli, Pragmatik.(Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2014), hlm. 104
[3]I Dewa Putu. Dasar-dasar Pragmatik. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1996), hlm.59
[4]Kunjana Rahardi. Pragmatik Kesatuan Imperatif Bahasa Indonesia. (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2005) hlm. 59-61
[5]Ibid hlm 69
[6]Ibid hlm 70

No comments:

Post a Comment

Semantik - Konsep Dasar Makna

BAB II PEMBAHASAN A.     Pengertian Makna Untuk memahami suatu makna atau arti, Ferdinand de Saussure menyebutkan bahwasanya setiap ...