BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Makna
Untuk
memahami suatu makna atau arti, Ferdinand de Saussure menyebutkan bahwasanya
setiap tanda linguistik terdiri dari dua unsur, yaitu: (1) konsep atau makna
dari suatu tanda bunyi dan (2) bunyi-bunyi yang terbentuk dari fonem-fonem
bahasa yang bersangkutan. Jadi setiap tanda-linguistik terdiri dari
unsur bunyi dan unsur makna.
Umpamanya
tanda linguistik yang dieja <meja>. Tanda ini terdiri dari unsur makna
atau yang diartikan ‘meja’ dan unsur bunyi yang mengartikan dalam wujud
runtutan fonem [m,e,j,a]. lalu tanda <meja> ini, yang dalam hal ini
terdiri dari unsur makna dan unsur bunyinya mengacu kepada suatu referen yang
berada di luar bahasa, yaitu sebuah meja sebagai perabot rumah tangga. Kalau
kata <meja> adalah sebagai hal yang menandai (tanda linguistik), maka
sebuah <meja> sebagai perabot ini adalah hal yang ditandai.



[bunyi]
yang
mengartikan
yang menandai
yang ditandai
(intralingual)
(ekstralingual)
Sebetulnya
dalam bidang semantik istilah yang biasa digunakan untuk tanda-linguistik itu
adalah leksem, yang lazim didefinisikan sebagai kata atau frase yang
merupakan satuan bermakna (Harimurti 1982: 98). Sedangkan istilah kata, yang
lazim didefinisikan sebagai satuan bahasa yang dapat berdiri sendiri dan dapat
terjadi dari morfem tunggal atau gabungan morfem (Harimurti 1982: 76) adalah
istilah dalam gramatika. Kedua istilah itu dianggap memiliki pengertian yang
sama, sebab baik kata maupun leksem bisa berwujud kata tunggal maupun gabungan
kata (frase idomatik). Bedanya hanya leksem adalah istilah dalam bidang semantik
sedangkan kata adalah istilah dalam bidang gramatika.
Sebuah kata/leksem mengandung makna atau
konsep itu. Makna atau konsep bersifat umum; sedangkan sesuatu yang dirujuk,
yang berada diluar dunia bahasa, bersifat tertentu: umpamanya kata <meja>
mengandung konsep meja pada umumnya, meja apa saja, atau segala macam meja.
Tetapi dalam dunia nyata, meja-meja yang dirujuk adalah bersifat tertentu; atau
dengan kata lain dalam dunia nyata kita dapati berbagai macam meja yang ukuran,
bentuk, dan bahannya tidak sama. Hubungan antara kata <meja> dengan
maknanya atau konsepnya bersifat langsung. Begitu juga hubungan antara makna
itu dengan meja tertentu di dunia nyata juga bersifat langsung; tetapi hubungan
antara kata <meja> dengan dengan sebuah meja di dunia nyata tidak
bersifat langsung; maka dari itu dalam bagan hubungan antara kata dengan
referennya ditandai dengan garis terputus-putus.[1]
Sedangkan menurut Mansoer Pateda makna
merupakan kata dan istilah yang membingungkan. Bentuk makna diperhitungkan
sebagai istilah sebab bentuk ini mempunyai konsep dalam bidang ilmu tertentu,
yakni dalam bidang linguistik. Istilah makna meskipun membingungkan sebenarnya
lebih dekat dengan kata. Sering kita berkata apa artinya kata ini? Kalau
seseorang berkata, saya akan berangkat: itu berarti bahwa ia siap berjalan,
siap melaksanakan kegiatan atau aktivitas pindah, pindah dari satu tempat ke
tempat lain, dengan jalan melaksanakan kegiatan berjalan. Sering seseorang berkata,:
kita harus membantu orang miskin: yang kemudian diikuti dengan gerakan ;
gerakan membantu orang miskin. Ini berarti wujud membantu orang miskin tampak
dari gerakan memberikan sesuatu kepada orang miskin.[2]
B.
Pendekatan
Makna
Makna dapat dibicarakan dari dua
pendekatan, yakni pendekatan analitik atau referensial dan pendekatan
operasional.
Pendekatan analitik ingin mencari makna
dengan cara menguraikannya atas segmen-segmen utama. Contoh, kata istri. Dilihat dari pendekatan analitik,
kata istri dapat diuraikan menjadi :
·
perempuan.
·
telah bersuami.
·
kemungkinan telah
memiliki anak.
·
manusia.
·
ramah-tamah.
·
berambut panjang.
·
pendamping suami.
sedangkan pendekatan operasional ingin
mempelajari kata dalam penggunaannya. Pendekatan operasional lebih menekankan,
bagaimana kata dioperasikan di dalam tindak fonasi sehari-hari. Contoh kata istri dilihat dari segi pendekatan
operasiona, akan terlihat dari kemungkinan-kemungkinan permunculannya dalam
kalimat-kalimat, misalnya sebagai berikut.
·
Si Dula mempunyai
istri.
·
Istri si Ali telah
meninggal.
·
Banyak istri yang
bekerja di kantor.
·
Apakah istrimu sudah
naik haji?
Tetapi tidak
mungkin orang mengatakan.
·
Istri Ali berkaki tiga.
·
Istri tidak pernah
melahirkan.
Tokoh terkenal dalam pendekatan
operasional adalah I. Wittgenstein yang mengemukakan pendapatnya di dalam buku Philosophical Investigation (1953).
Pendekatan operasional menggunakan tes substitusi untuk menentukan tepat
tidaknya makna sebuah kata.misalnya, apakah kata sebab sama maknanya dengan
kata karena? Untuk itu diketahui dengan tes.
·
Ia sakit sebab mandi di
hujan.
·
Ia sakit karena mandi
di hujan.
Terlihat bahwa kata sebab dan
karena dapat digunakan dalam kedua kalimat ini.
Selain dua pendekatan ini,
pendekatan makna dapat dilihat pula dari hubungan-hubungan fungsi yang berbeda
di dalam bahasa. Pada umumnya orang membedakan pendekatan ekstensional (extensional) dan pendekatan intensional
(intensional). Pendekatan ektensional
adalah pendekatan yang memusatkan perhatian pada penggunaan kata di dalam
konteks. Pendekatan ini menunjuk pada keseluruhan, kejadian, abstraksi atau
raksi pembicara terhadap satuan-satuan. Misalnya, kita melihat kendaraan
bertabrakan, maka dengan cepat kita berkata “Ada kecelakaan”, analisis kita
segera berhubungan dengan (i) pola-pola yang hadir bersama-sama (ii)
substitusi, binatang---kucing (iii) lawan kata. Pada peristiwa tabrakan tadi
kita mengetahui bahwa kejadian seperti itu namanya tabrakan. Dengan kata lain
kita mengerti makna kata tabrakan, bertabrakan.[3]
SIMPULAN
Makna merupakan kata dan istilah yang membingungkan.
Bentuk makna diperhitungkan sebagai istilah sebab bentuk ini mempunyai konsep
dalam bidang ilmu tertentu, yakni dalam bidang linguistik. Istilah makna
meskipun membingungkan sebenarnya lebih dekat dengan kata. Pendekatan dalam
bidang studi makna ada tiga yaitu pendekatan analitik atau referensial,
pendekatan operasional dan pendekatan ekstensional.
DAFTAR
PUSTAKA
Chaer, Abdul. 2009. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta
Pateda, Mansoer. 2010. Semantik Leksikal. Jakarta: Rineka Cipta
[1]Abdul
chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta), h.
29-32
[2] Mansoer Pateda, semantik
leksikal,(Jakarta: Rineka Cipta)hlm. 79-80
[3] Mansoer Pateda, semantik
leksikal,(Jakarta: Rineka Cipta)hlm. 88